Friday, April 29, 2016

Paham Kekuasaan Sunda Oleh : JAKOB SUMARDJO


Paham Kekuasaan Sunda
Oleh : JAKOB SUMARDJO
KEKUASAAN kurang lebih berarti kemampuan, kesanggupan, kekuatan, kewenangan untuk menentukan. Kekuasaan meliputi wilayah keluarga, kampung, negara, lembaga. Dalam pengertian kebudayaan, wilayah-wilayah kekuasaan tadi menampakkan pola-pola yang sama. Pengaturan kekuasaan dalam keluarga, dalam kampung, dalam kerajaan sama. Itulah pola kekuasaan yang menampakkan dirinya dalam berbagai hasil budaya Sunda. Namun, kebudayaan sebagai cara hidup kelompok itu berubah terus. Apa yang akan diuraikan di sini berdasarkan artefak-artefak budaya yang sudah ada, jadi agak kesejarahan, dalam arti “telah terjadi”.
Sumber dari pemahaman ini berasal dari cerita pantun, perkampungan Sunda, kampung adat, dan silat Sunda. Paham ini tersembunyi di balik yang tampak (tangible), sehingga memerlukan pemecahan simbol-simbolnya. Masyarakat Sunda sendiri dengan tidak disadari berlaku berdasarkan paham Sundanya, sehingga kurang berjarak untuk melihat realitas dirinya. Salah seorang mahasiswa pascasarjana di Bandung yang berasal dari Jawa Timur, pada suatu hari menyatakan pada saya, bahwa dia senang tinggal di Bandung karena orangnya ramah, baik, lembut hati. Masyarakat Sunda itu berkarakter halus, bukan kasar. Kalau harus “kasar”, tetap “halus”. Tidak keras tapi lembut. Tidak agresif tapi “diam”.
Pada dasarnya, sikap hidupnya agak ganda dalam arti positif, yakni paradoksal. Menyatu-memisah, menerima-mempertahankan, asli-berubah, mandiri-tergantung, pemilik-pemakai, tiga tapi satu dan satu tapi tiga. Genealogi dari sikap ini adalah budaya purbanya yang huma atau ladang. Hidup berladang itu menetap-pindah, produktif-konsumtif, bebas-tergantung, terbuka tertutup. Paham kekuasaannya juga berkarakter demikian itu.

Simbol kekuasaan Sunda dengan jelas sekali tergambar pada cerita pantun. Pangeran Pajajaran, misalnya Mundinglaya Dikusumah, ke mana pun pergi selalu diiringi oleh pengawal setianya, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Dalam pengembaraan Pangeran Pajajaran, dia digambarkan “diam dan pasif” tetapi sangat dihormati dan dipatuhi keputusannya. Dalam hal ini Mundinglaya lebih banyak diam, sedangkan yang aktif Gelap Nyawang sebagai pemikir dan pengatur strategi perjalanan (eksekutif) dan Kidang Pananjung sebagai penyelesai persoalan. Namanya juga Kidang Pananjung yang selalu ada paling depan.
Inilah tritangtu Sunda. Pangeran Pajajaran yang memiliki kekuasaan, namun tidak aktif menjalankan kekuasaannya. Ia menyerahkannya kepada Gelap Nyawang untuk bekerja dan Kidang Pananjung yang bertanggung jawab terhadap keselamatan, keamanan, dan kesatuan ketiganya. Ini berbeda dengan cerita wayang Jawa. Arjuna punya tiga pengiring seperti Mundinglaya, namun segala sesuatu dipecahkan sendiri oleh Arjuna. Ketiga pengiringnya hanya bertugas menguatkan dan menghibur majikannya. Arjuna adalah pemilik, pelaksana, dan penjaga dirinya sendiri.

Pola pengaturan kekuasaan semacam itu ternyata juga ada pada pantun Sunda sendiri. Pantun Sunda dimulai dengan tugas raja Pajajaran kepada putranya agar mengembara menemukan sebuah negara. Di negara yang ditemukannya itu ia menetap dan berkuasa dengan cara mengawini putri setempat. Karena kecantikan putri tersebut, banyak raja di sekitarnya yang juga ingin memilikinya. Terjadi perang antara raja-raja perebut putri dengan abang putri tersebut (yang biasanya dipakai sebagai judul lakon pantun). Para raja dapat dibunuh oleh abang putri yang menjadi istri Pangeran Pajajaran. Atas permintaan putri, para raja dihidupkan kembali dan bersumpah mengabdi kepada Pangeran Pajajaran.
Tampak bahwa pemegang mandat kekuasaan, Pangeran Pajajaran, justru diam namun berwibawa. Sedang yang aktif menyelesaikan persoalan negara adalah abang putri atau penguasa setempat. Dan bekas-bekas musuh pangeran akhirnya menjadi pelindung dan penjaga kekuasaan pangeran. Kekuasaan Sunda yang sejati itu adanya di Pakuan Pajajaran. Rajanya tidak beranjak dari kratonnya. Yang bergerak ke luar keraton justru putra-putranya (memperluas wilayah kekuasaan). Dan pada gilirannya, para Pangeran Pajajaran itu juga bersikap seperti ayahanda mereka di Pakuan. Pangeran-pangeran itu pasif di pusat negaranya yang baru. Yang aktif menjalankan kekuasaan justru raja setempat yang sudah menjadi keluarga Pajajaran. Sedangkan para pelindung (para anggota kerajaan) adalah raja-raja asing yang non-Sunda.

Dengan demikian, kekuasaan itu dimiliki-tidak dimiliki karena yang memiliki kekuasaan tidak menjalankan kekuasaan, sedang yang menjalankan kekuasaan tidak memiliki kekuasaan yang dijalankannya. Pihak kekuasaan ketiga adalah mereka yang bertugas menjaga kesatuan dan keamanan serta perlindungan pemilik dan pelaksana kekuasaan. Kekuasaan, dalam paham ini, masuk kategori “perempuan” bukan “lelaki”. Perempuan itu yang memiliki, sedangkan lelaki yang menjalankan kepemilikan itu. Perempuan itu adanya di dalam rumah, bukan di luar rumah. Yang bergerak aktif di luar rumah itu lelaki. Kekuasaan sejati, yakni pemilik kekuasaan atau mandat kekuasaan surga adalah Raja Pajajaran dan putra-putranya yang tersebar di seluruh Jawa Barat.  Sedang yang menjalankan kekuasaan bukan Raja Pajajaran atau putra-putranya di daerah, tetapi penguasa setempat atas nama Pajajaran. Sedangkan para pelindung kekuasaan boleh orang di luar pemilik dan pelaku kekuasaan.

Pola tripartit demikian itu rupanya bersumber pada pola pemerintahan kampung-kampung Sunda. Kampung telah ada terlebih dahulu dari pada lembaga negara yang bernama kerajaan. Dalam kampung-kampung Sunda tua, seperti di Kanekes-Baduy atau di Ciptagelar-Sukabumi selatan, kekuasaan kampung terbagi menjadi pemilik kekuasaan (kampung adat yang paling tua), pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan kampung. Kampung pemilik adat biasaya ada di bagian “dalam” dekat bukit dan hutan kampung, kampung pelaksana kekuasaan ada di tengah, dan kampung penjaga kekuasaan ada di luar. Dalam kampung adat Kanekes, masing-masing lembaga kekuasaan itu dipegang oleh Cikeusik (dalam, tua, adat), kemudian Cikertawana (eksekutif), dan Cibeo (pelindung batas).

Dalam kampung adat yang lebih modern, yakni di Ciptagelar, tripartit itu tetap dijalankan dalam bentuk kampung buhun (pemilik dan penjaga adat buhun Sunda), kampung nagara (pemerintahan modern nasional), dan kampung sarak (kampung yang mengurus kepentingan Islam). Dalam pola pikir ini, adat Sunda diletakkan sebagai pihak “dalam”, “pemilik sejati”, dan Islam berada di “luar” yakni batas wilayah kampung. Pemerintahan nasional ada di tengah. Ternyata pola tripartit yang sama masih berlaku di banyak perkampungan Sunda di Jawa Barat seperti terjadi di Ciptagelar. Kampung Sunda di Darmaraja dekat Situraja, misalnya, membagi kesatuan tiga kampung dalam Kampung Cipaku yang mengurus kabuyutan kampung (Raja Haji Putih), Kampung Paku Alam mengurus pemerintahan nasional-modern (lurah), dan Kampung Karang Pakuan yang letaknya dekat jalan raya Darmaraja, merupakan kampung Islam di mana masjid kampung berada.


Di sinilah sikap terbuka-tertutup, tetap-berubah, menjalankan mekanismenya. Ketegangan budaya sering terjadi antara peran adat dan peran Islam. Sementara satu pihak menekankan adat buhun Sunda sebagai pemilik kekuasaan, di pihak lain Islam sebagai pemilik kekuasaan. Peran pelaku kekuasaan tetap lembaga pemerintahan nasional yang disetujui keduanya. Bagi mereka yang menjunjung tinggi kesundaan bersikap bahwa pemilik adalah Sunda (buhun, adat), sedang bagi yang menjunjung tinggi Islam bersikap “Islam itulah Sunda”, gerakan revivalisme Sunda, saya kira, berdasarkan pikiran siapa yang seharusnya dinilai sebagai “dalam” dan siapa yang dinilai sebagai “luar”. Seperti kita baca dalam kasus pantun Sunda, kategori “luar” itu mengandung arti “asing” juga. Pola tripartit kekuasaan Sunda ini, dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan sikap “tetap” sekaligus “berubah”. Hal ini tampak dari penyebutan ketiga lembaga kekuasaan tersebut. Pada awalnya adalah pemilik kekuasaan, pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan. Lalu di masa kerajaan menjadi sebutan resi, ratu, rama. Resi adalah pemilik kekuasaan yang tak bergerak, ratu adalah pelaksana yang bergerak aktif, dan rama yang merupakan rakyat (kepala kampung) yang menjaga ketertiban kampung masing-masing. Pada zaman perkembangan Islam rupanya menjadi pesantren (dalam), menak (bupati-bupati di Priangan), dan rakyat Sunda di kampung-kampung.

Terjemahannya dalam masyarakat modern Sunda, rupanya pola tripartit ini masih berlaku, yakni sebagai pemilik kekuasaan adalah rakyat Sunda (demokrasi), pelaksana kekuasaan gubernur-bupati, dan penjaga kekuasaan adalah panglima wilayah. Kategorinya; dalam, tengah, luar. Dalam dan tengah adalah Sunda, sedangkan pihak luar boleh asing (mirip para ponggawa dalam carita pantun). Dengan demikian dasar paham kekuasaan Sunda itu lebih maternal dari pada paternal. Lebih mengasuh, rohani, adat, pikiran daripada sekadar memerintah. Sikap ini juga tercermin dalam silat Sunda yang lebih menyimpan kekuatan dari pada menggunakan kekuatan itu. Silat Sunda itu bageakeun baik untuk dirinya maupun “musuhnya”. Diri sendiri selamat dan yang menyerangnya juga selamat. Yang pertama dilakukan adalah gerak menghindar sekaligus disertai gerak menyerang. Bukan untuk mematikan, tetapi untuk membuat lawan tidak berdaya lagi. Inilah sebabnya pawang pembetul tulang banyak terdapat di kampung-kampung Sunda. Jadi, sikap terhadap kekuatan lebih menyimpan, defensif, daripada menggunakannya dan agresif.
Kata Kunci: Tritangtu, Sunda

SEJARAH SITUS Penulis: Pustakawan Madya ISBI Bandung

SEJARAH SITUS
Penulis: Pustakawan Madya ISBI Bandung


 Zaman Prasejarah
Zaman Prasejarah, atau sering juga disebut nirleka (nir: tidak ada, leka: tulisan), adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada masa di mana catatan atau tulisan belum ada. Dengan demikian, batas antara zaman prasejarah dengan zaman sejarah adalah mulai adanya tulisan. Berakhirnya zaman prasejarah atau  dimulainya  zaman  sejarah  untuk  setiap  bangsa  di  dunia  tidak  sama, tergantung dari peradaban bangsa yang bersangkutan. Zaman   prasejarah   di   Indonesia   diperkirakan   berakhir   pada   waktu berdirinya  Kerajaan  Kutai,  sekitar  abad  ke-5.  Berdirinya  kerajaan  tersebut dibuktikan  oleh  keterangan  dalam  prasasti  pada  batu  berbentuk  yupa  yang ditemukan di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Mengenai kehidupan zaman prasejarah di Jatigede khususnya dan di Sumedang umumnya belum diungkap secara tuntas. Namun demikian, upaya-
upaya ke arah itu sudah dimulai. Bulan Mei 2007 Balai Arkeologi Bandung mengadakan penelitian di daerah Sumedang, tepatnya di Desa Jembarwangi dan
sekitarnya dan di Kecamatan Tomo. Penelitian difokuskan pada penemuan fosil fauna dan vertebrata.


Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan jenisnya, gigi dan tulang fauna itu berasal dari kelompok hewan gajah purba (Stegodon sp), Cervus sp, dan
Bovidae sp. Fragmen fosil yang berasal dari Stegodon sp antara lain terdiri dari bagian gigi, bonggol sendi tulang kering sebelah atas, dan potongan tulang paha.
Kelompok Cervus sp terdiri dari bagian rahang dengan sederetan gigi; kelompok Bovidae sp terdiri dari beberapa fosil gigi. Temuan itu umumnya merupakan
temuan permukaan di kawasan perbukitan Pasir Melati, terutama di kawasan Blok Gegermaja yang langsung berbatasan dengan aliran Sungai Cisaar dan Blok
Reunependeu yang terletak lebih kurang 500 meter di sebelah utara Balai Desa Jembarwangi.

Secara astronomis daerah temuan fosil vertebrata itu merupakan kawasan perbukitan  bergelombang  rendah (pasir)  yang  terletak  berbatasan  dengan
Kabupaten  Majalengka,  berada  pada  ketinggian  antara 100-300  meter  dpl. Kawasan ini dibelah oleh aliran Sungai Cisaar, anak aliran Sungai Cimanuk yang bermuara ke pantai utara Jawa. Hal itu berarti, setidaknya daerah yang kemudian bernama Sumedang merupakan bagian dari peristiwa migrasi fauna purba dari daratan Asia menuju kepulauan Indonesia, khususnya Pulau Jawa bagian barat pada zaman prasejarah.

Selain temuan fosil fauna purba, di daerah Sumedang juga ditemukan peralatan batu sebelum zaman megalitikum dan peninggalan zaman megalitikum.
Situs-situs megalitik ditemukan di sebagian besar wilayah Sumedang, seperti Darmaraja, Jatigede, Wado, Gunung Tampomas, Gunung Lingga, dan lain-lain.
Situs-situs tersebut digunakan kembali pada zaman sejarah hingga kurun waktu zaman Islam, bahkan hingga sekarang. Situs demikian dalam istilah arkeologi disebut situs berlanjut (multi component site).

Pada zaman megalitikum, kegiatan bercocok tanam makin berkembang. Kegiatan bercocok tanam pada zaman prasejarah di Indonesia dimulai kira-kira
bersamaan dengan berkembangnya kemahiran mengupam (mengasah) alat-alat batu, serta mulai dikenalnya teknik pembuatan gerabah. Kemahiran bercocok
tanam lahir dari usaha manusia prasejarah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta  mengembangkan  penghidupan  baru.  Dengan  bercocok  tanam  berarti
masyarakat sudah hidup menetap dan besar kemungkinan melakukan penjinakan hewan-hewan tertentu sebagai binatang ternak. Dalam taraf kehidupan demikian,
seyogyanya  berbagai  sendi  kehidupan  lain  akan  berubah  sejalan  dengan kesejahteraan yang dicapai. Pada masyarakat tingkat sederhana, perubahan yang
terjadi adalah pertambahan jumlah anggota keluarga karena faktor kelahiran, yang pada akhirnya berdampak pada jumlah anggota masyarakat. Hal itu berdampak
pula pada perambahan hutan untuk membuka lahan pertanian dan pemukiman,pembangunan perumahan dalam tingkat sederhana, dan lain-lain.

Dalam kehidupan religius, berkembang sebuah tradisi  yang memiliki corak dan sifat khusus, yaitu tradisi megalitik sebagai media penghormatan
terdapap arwah leluhur. Pada zaman itu muncul tradisi penggunaan batu besar.Boleh jadi  penggunaan batu besar itu bukan untuk pemenuhan kebutuhan
jasmaniah (peralatan praktis), melainkan untuk pemenuhan kebutuhan rohaniah.Sebagian besar dari material yang digunakan hampir tidak mendapat pengerjaan,
kalaupun ada terkesan hanya dilakukan seperlunya untuk mendapatkan bentuk yang diinginkan, seperti meratakan permukaan atau menggoreskan garis-garis motif yang diinginkan.

Dasar kehidupan religi pada zaman megalitik adalah sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati. Masyarakat pada waktu itu percaya bahwa roh seseorang
tidak lenyap pada saat orang meninggal, melainkan tetap hidup dan memiliki kelanjutan kehidupan dalam wujud-wujud rokhaniahnya, sehingga roh-roh leluhur
itu dianggap sangat mempengaruhi jalan kehidupan keturunannya di dunia. Sebagai penghormatan terhadap dan sarana komunikasi dengan arwah leluhur, dibuatkan media untuk menempatkan roh para leluhur pada tataran lebih tinggi. Media itu juga bermakna untuk lebih mendekatkan jarak antara puncak gunung sebagai ”dunia atas” dengan ”dunia bawah” tempat para anak cucu. Hampir semua media tempat penghormatan dan komunikasi itu ditempatkan pada bangunan  berupa  undakan  atau  undak-undakan,  sehingga  muncul  sebutan bangunan atau punden berundak yang teras-terasnya bersusun kian ke atas kian mengecil, seperti piramid. Bentuk itu dimaksudkan sebagai replika dari bentuk gunung, karena pada zaman itu gunung dianggap sebagai alam arwah yang abadi, sehingga gunung dianggap sebagai tempat suci.

Selain bangunan berundak, karya lain tradisi megalitik adalah berupa dolmen, peti kubur batu, bilik batu, sarkofagus, kalamba (bejana batu) waruga, watu (batu) kandang dan temu gelang. Di tempat itu biasanya dihadirkan juga beberapa batu besar sebagai pelengkap atau media pemujaan nenek moyang, seperti menhir, patung nenek moyang, batu saji, batu lumpang, batu lesung, batu dakon, pelinggih batu, atau tembok batu. Sebagian dari situasi dan kondisi tersebut diduga terjadi pula di daerah Sumedang. Namun sampai saat ini, hasil penelitian arkeologi prasejarah di daerah Sumedang didominasi oleh temuan tradisi megalitik.

Berdasarkan  hasil  penelitian  arkeologi,  terungkap  bahwa  pada  masa sebelum tradisi megalitik berlangsung, manusia prasejarah di kawasan tengah
Jawa Barat pada waktu itu cenderung menempati kawasan sisi timur Danau Bandung  Purba.  Hal  itu  didukung  oleh  adanya  situs-situs  prasejarah  yang
ditemukan di kawasan itu, yang berdekatan atau berbatasan dengan Sumedang pada saat ini. Di antara temuan itu adalah temuan obsidian, dan temuan lainnya
hasil tinggalan dari masa mesolitik dan neolitik, seperti situs-situs yang terletak dalam kawasan Gunung Manglayang, Cibiru Wetan, dan Cileunyi pada saat ini.
Hal  itu  tidak  menutup  kemungkinan  bahwa  pada  masa  sebelumnya,  ketika kawasan   Danau   Bandung   Purba   masih   berfungsi,   masyarakat   prasejarah
cenderung mencari lahan-lahan dekat air sebagai salah satu sumber kehidupan mereka. Baru pada masa sesudahnya, sejalan dengan kebutuhan lahan untuk
tempat tinggal karena bertambahnya populasi penduduk, masyarakat itu membuka lahan ke lahan terdekat, yaitu kawasan Sumedang. Bila dugaan itu mendekati
kebenaran, mungkin sejak itulah di daerah Sumedang berlangsung kehidupan manusia prasejarah.

Zaman Kerajaan
Selepas masa prasejarah, Sumedang memasuki masa sejarah. Namun sampai saat ini belum diketahui secara pasti, kapan tepatnya Sumedang mulai
masuk  ke  zaman  sejarah.  Sumber  tradisional  menyebutkan,  bahwa  zaman kesejarahan  Sumedang  dimulai  oleh  berdirinya  Kerajaan  Tembong  Agung
(Tembong  artinya  nampak  dan  Agung  artinya  luhur).  Namun,  satu  sumber menyatakan kerajaan itu berdiri pada tahun 9008 dengan ibukota kerajaan terletak
di  Kampung  Muhara,  Desa  Leuwihideung (sekarang  termasuk  Kecamatan Darmaraja).9 Raja pertama yang memerintah kerajaan itu adalah Prabu Guru Aji Putih. Sumber lain menyebutkan bahwa Prabu Guru Aji Putih naik tahta kira-kira tahun 1500, sehingga ia disejajarkan dengan masa pemerintahan Raja Sunda, Sri Baduga Maharaja atau Ratu Jayadewata yang berkuasa pada tahun 1482 - 1521. Menurut Bayu Suryaningrat, berdasarkan Carita Parahyangan, Prabu Guru Aji Putih adalah saudara Prabu Sri Baduga Maharaja.10

Masih menurut sumber tradisional, Prabu Aji Putih menikah dengan Dewi Ratna Inten, dikenal juga dengan sebutan Dewi Nawang Wulan. Ia adalah putri
Jagat Jayanata, keponakan Purbasora atau cucu Resi Demunawan dari permaisuri Saribanon Kencana. Perkawinan Prabu Aji Putih dengan Dewi Nawang Wulan
melahirkan beberapa anak, yaitu Bratakusumah, Sokawayana, Harisdarma dan Langlangbuawa.11

Disebutkan dalam cerita rakyat, bahwa ketika Bratakusumah menginjak usia dewasa, ia pergi berguru ke berbagai tempat. Terakhir ia pergi bertapa ke
Gunung Nurmala. Pada saat itulah ia berucap „insun medal, insun madangan”. Artinya “aku dilahirkan, aku menerangi”. Konon, kata “Sumedang” diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang, yang selanjutnya  menjadi  Sumedang.  Ada  juga  pendapat,  bahwa  kata  Sumedang berasal dari kata Insun Medal.

Setelah  kembali  dari  pertapaan,  Bratakusumah  diangkat  menjadi  raja menggantikan ayahnya. Sejak saat itu Bratakusumah berganti nama menjadi Prabu  Agung  Resi  Cakrabuana   yang  lebih  dikenal  dengan  nama  Prabu Tajimalela.13   Begitu   juga   kerajaannya   berganti   nama   menjadi   Kerajaan Sumedanglarang.14 Pusat pemerintahannya terletak di Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja sekarang. Versi lain menyebutkan bahwa Kerajaan Tembong Agung berganti nama menjadi Kerajaan Himbar Buana.15

Setelah Prabu Tajimalela menjadi raja, kemudian ia mengangkat saudara-saudaranya menjadi patinggi (penguasa) di beberapa daerah. Sokawayana menjadi patinggi di daerah sekitar Gunung Tampomas. Harisdarma menjadi patinggi di sekitar wilayah Gunung Haruman. Langlangbuana menjadi patinggi di wilayah Lemah Putih, namun tidak lama karena ia kemudian mengabdi ke Kerajaan Galuh.

Prabu Tajimalela memiliki tiga orang putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.17 Berdasarkan sumber tradisional
berjudul Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela berniat untuk mengangkat dua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), masing-masing menjadi
raja dan menjadi wakilnya (patih). Akan tetapi keduanya tidak bersedia. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya dan jika kalah
harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah
pedang dan buah kelapa muda (duwegan/degan). Akan tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan, ia membelah dan meminum air kelapa muda tersebut.

Oleh karena ia dinyatakan kalah (tidak lulus ujian), sehingga harus menjadi raja Kerajaan  Sumedanglarang,  tetapi  wilayah  ibu  kota  harus  mencari  sendiri.
Sementara itu, Prabu Lembu Agung yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji, tetap di Leuwihideung, dan diangkat menjadi raja untuk sekedar memenuhi
wasiat   Prabu   Tajimalela.   Setelah   Prabu   Tajimalela   meninggal,   Kerajaan Sumedanglarang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung, sedangkan Prabu Lembu
Agung menjadi resi. Sumber tradisional tersebut juga menyatakan bahwa Sunan Geusan Ulun memiliki keturunan yang tersebar di Limbangan, Karawang, dan
Brebes.

Sumber lain menyebutkan bahwa Prabu Tajimalela mempunyai putra kembar, yaitu Prabu Lembu Agung (disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji) dan Prabu  Gajah  Agung.  Setelah  Prabu  Tajimalela  meninggal  dunia,  kerajaan Sumedanglarang dipimpin oleh Prabu Lembu Agung atau Prabu Lembu Peteng Aji.  Setelah  Prabu  Lembu  Agung  menjadi  resi,  Kerajaan  Sumedanglarang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung. Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja, ia memindahkan ibu kota
kerajaan  dari  Leuwihideung  ke  Ciguling,  Desa  Pasanggrahan (Kecamatan Sumedang Selatan). Dahulu tempat ini bernama Kampung Gegersunten. Dengan dijadikannya ibukota kerajaan, daerah itu berubah menjadi ramai. Setelah menjadi raja Prabu Gajah Agung terkenal dengan nama Prabu Pagulingan.19 Ia memiliki dua orang anak, yaitu Ratu Istri Rajamantri dan Sunan Guling.

Prabu Gajah Agung meninggal dan dimakamkan di Cicanting (sekarang Desa  Sukamenak,  Kecamatan  Darmaraja.  Sepeninggal  Prabu  Gajah  Agung, kerajaan dipimpin oleh Sunan Guling. Adapun kakaknya, Ratu Istri Rajamantri, menjadi permaisuri raja Pajajaran. Sunan  Guling  meninggal  dan  dimakamkan  di  Heubeul  Isuk,  Desa Cinanggerang,  Kecamatan  Sumedang  Selatan.  Pemerintahan  diganti  oleh anaknya, Sunan Tuakan. Setelah wafat ia dimakamkan di Heubeul Isuk, Desa Cinanggerang, Kecamatan Sumedang Selatan. Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya bernama Nyi Mas Ratu Patuakan. Ia mempunyai suami Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Ratu Dewata.

Dari perkawinannya Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata. Setelah ibunya meninggal, ia menjadi ratu
dengan gelar Ratu Pucuk Umun (1530-1578). Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra
Aria Damar, Sultan Palembang, keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas  Ranggawulung,  keturunan  Sunan  Gunung  Jati  dari  Cirebon.  Pangeran
Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri, karena ia pernah hidup di pesantren, sehingga perilakunya yang sangat alim. Pernikahan ratu
Sumedanglarang   dengan   Pangeran   Santri   keturunan   Sunan   Gunung   Jati, mengakhiri zaman kerajaan Hindu di Sumedanglarang. Sejak itul agama Islam
menyebar di wilayah Sumedanglarang.

Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedanglarang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan
raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah dinikahi Pangeran  Santri (1505-1579  M)  yang  bergelar  Ki  Gedeng  Sumedang  dan
memerintah Sumedanglarang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut.

Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri dari Cirebon. Ia adalah seorang pangeran yang sekaligus juga seorang ulama. Nama asli Pangeran
Santri adalah Pangeran Kusumadinata. Pernikahan Nyi Mas Ratu Inten Dewata (Ratu Pucuk Umun) dengan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Santri) dianggap sebagai berakhirnya masa Hindu di Sumedang dan mulai tersebarnya agama Islam.  Pada  masa  itu  ibu  kota  kerajaan  Sumedanglarang  dipindahkan  dari
Ciguling ke Kutamaya. Pemindahan ibu kota kerajaan ini terjadi kira-kira pada tahun 1530. Pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri membuahkan enam putera, yaitu:
1.  Raden Angkawijaya (kemudian bergelar Prabu Geusan Ulun)
2.  Kiayi Rangga Haji
3.  Kiayi Demang Watang
4.  Santowaan Wirakusumah
5.  Santowaan Cikeruh
6.  Santowaan Awiluar.

Setelah Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri wafat (diperkirakan tahun 1579) yang menjadi raja selanjutnya adalah anaknya yang sulung bernama Raden Angkawijaya. Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri sendiri dimakamkan di Makam Pasarean Gede, di pusat kota Sumedang sekarang. Setelah dinobatkan menjadi raja, Raden Angkawijaya mendapat gelar Prabu Geusan Ulun yang memerintah Sumedanglarang tahun 1579-1601.

Berdasarkan   sumber-sumber   tradisional   dan   cerita   turun-temurun, sebagian warga masyarakat, khususnya masyarakat Sumedang, meyakini bahwa
di  daerah  Sumedang  pernah  berlangsung  pemerintahan  Kerajaan  Tembong Agung. Kepercayaan masyarakat akan hal tersebut, dalam ilmu sejarah disebut accepted history (“sejarah” yang diterima oleh masyarakat/umum). Namun, bagi kebenaran sejarah, hal itu menjadi tantangan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut secara seksama. Menurut beberapa sumber akurat mengenai zaman kerajaan di Tatar Sunda (Jawa   Barat),   setelah   Kerajaan   Sunda/Pajajaran   runtuh   tahun 1579/1580,
kemudian muncul Kerajaan Sumedanglarang, dengan raja pertama Prabu Geusan Ulun, dengan permaisuri Nyi Mas Gedeng Waru (Putra Sunan Pada). Dari
permaisuri, Prabu Geusan Ulun memiliki 14 anak, yaitu: Pangeran Rangga Gede, Rd. Arya Wirareja, Kiai Rangga Gede, Kiai Patrakelasa, Ngabehi Watang, Arya
Rg. Pati Haur Kuning, Nyi Demang Cipaku, Nyi Mas Ngabehi Martayuda, Nyimas Rg. Wiratama, Rd. Rg. Nitinagara, Nyi Mas Rg. Pamande, Nyi Mas
Dipati Ukur, Pangeran Dipati Kusumahdi Nata, dan Tumenggung Tegal Kalong.Menurut sumber akurat, Prabu Geusan Ulun memerintah tahun 1580-1608.22 Semula ibu kota kerajaan Sumedanglarang berlokasi di Ciguling. Namun beberapa waktu kemudian dipindahkan ke Kutamaya.

Luas  wilayah  kerajaan  Sumedanglarang  adalah  seluas  bekas  wilayah Kerajaan Pajajaran, yaitu seluruh wilayah Jawa Barat minus Banten, Jayakarta
dan Cirebon. Daerah-daerah yang ketika Kerajaan Pajajaran melemah -- akibat peperangan dengan Banten -- berusaha melepaskan kesetiannya, ditaklukkan oleh pasukan  Prabu  Geusan  Ulun.  Daerah-daerah  itu  adalah  Karawang,  Ciasem, Pamanukan dan Indramayu.Munculnya Kerajaan Sumedanglarang merupakan penerus atau pewaris  Kerajaan Pajajaran. Klaim Kerajaan Sumedanglarang sebagai pewaris kebesaran Kerajaan Pajajaran dijelaskan oleh sumber tradisi. Dalam Babad Sumedang, disebutkan, bahwa menjelang keruntuhan Kerajaan Pajajaran, empat kandaga lante Pajajaran diperintah oleh Raja Pajajaran, Raga Mulya Surya Kencana, untuk menyerahkan   barang-barang   pusaka   Kerajaan   Pajajaran   berupa   Mahkota Binokasih Sang Hyang Pake Siger dan perlengkapannya kepada Prabu Geusan
Ulun. Mahkota mas ini merupakan simbol penting kerajaan. Empat kandaga lante itu adalah:
1.   Sang Hiang Hawu (Embah Jayaperkasa)
2.   Batara Dipati Wiradijaya (Embah Nangganan)
3.   Sang Hiang Kondang Hapa
4.   Batara Pancar Buana (Embah Terong Peot).

Empat   kandaga   lante   ini   tidak   kembali   ke   Pajajaran,   tapi   terus mengabdikan diri kepada Prabu Geusan Ulun. Masih menurut sumber tradisi,
keempat  kandaga  lante  itu,  sejatinya  adalah  orang  Sumedanglarang  yang mengabdikan diri di Kerajaan Pajajaran. Dengan demikian, kembalinya mereka ke
Sumedanglarang  termasuk  ke  dalam  ungkapan „kebo  mulih  pakandangan“, pulang ke kampung halaman sendiri. Empat kandaga lante tersebut kemudian menjadi punakawan setia Prabu Geusan Ulun, sekaligus menjadi pihak yang sering dimintai pertimbangan dalam membuat keputusan-keputusan.

Pada masa pemerintahan Geusan Ulun terjadi sebuah peristiwa penting yang melekat dalam memori kolektif masyarakat. Peristiwa itu antara lain konflik antara Sumedanglarang dengan Cirebon. Konflik itu terjadi akibat hubungan asmara antara Prabu Geusan Ulun dengan Ratu Harisbaya istri selir Sultan Cirebon. Hubungan asmara anatara kedua orang itu terjadi ketika Prabu Geusan Ulun sedang memperdalam ilmu agama Islam. Di sela-sela kesibukan memeritah kerajaan, Prabu Geusan Ulun masih menyempatkan diri untuk memperdalam ilmu keagamaan. Berangkatlah ia ke tempat yang menjadi pusat penyebaran agama Islam. Dalam hal ini terdapat dua versi ceritera mengenai tempat di mana Prabu Geusan Ulun memperdalam ilmu. Versi pertama menyebutkan ia memperdalam agama Islam di Demak.

Dalam perjalanan pulang ke Sumedanglarang ia mampir ke Keraton Cirebon.26 Waktu itu Kesultanan Cirebon berada di bawah kekuasaan Panembahan Ratu alias
Pangeran Girilaya (1570-1649). Versi kedua menyatakan bahwa untuk tujuan memperdalam ilmu agama Islam, Prabu Geusan Ulun pergi ke Cirebon.27 Kiranya  versi  kedua  lebih  dapat  diterima.  Pertama,  secara  geografis Cirebon letaknya lebih dekat dengan Sumedanglarang. Kedekatan jarak kedua
tempat   itu   memungkinkan   Prabu   Geusan   Ulun   untuk   dapat   mengontrol kerajaannya. Kedua, saat itu Cirebon adalah pusat penyebaran Islam yang tidak
kalah pamornya jika dibandingkan dengan Demak. Ketiga, Prabu Geusan Ulun masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Cirebon, karena ia adalah putra Pangeran Santri, cicit Sunan Gunung Jati. Maksud Prabu Geusan Ulun datang ke Cirebon untuk mendalami ilmu agama tidak berjalan lancar. Saat Prabu Geusan Ulun berada di lingkungan keraton Cirebon, Pakungwati, terjadi affair antara ia dengan Ratu Harisbaya29 isteri selir Pangeran Girilaya.

Ringkas cerita, ketika Prabu Geusan Ulun kembali ke Sumedanglarang, Ratu Harisbaya pun kabur dari keraton untuk menyusulnya30, padahal waktu itu
Ratu Harisbaya sedang mengandung anak dari Pangeran Girilaya. Kejadian ini memicu konflik antara Kesultanan Cirebon dengan Kerajaan Sumedanglarang. Pangeran Girilaya mengirim pasukan ke Sumedanglarang untuk membawa pulang Ratu Harisbaya. Para kandaga lante Sumedanglarang sudah memprediksi akan
datangnya  pasukan  Cirebon  menyusul  Ratu  Harisbaya.  Para  kandaga  lante menunggu (Sunda: ngadagoan) kedatangan pasukan Cirebon di perkampungan
yang kemudian dikenal dengan nama kampung Dago Jawa.Para kandaga lante berhasil menghalau pasukan Cirebon. Sementara itu, Pangeran Geusn Ulun dan Ratu   Harisbaya   meneruskan perjalanan   menuju   ibu   kota   Kerajaan Sumedanglarang, Kutamaya. Di pihak Sumedanglarang timbul kekhawatiran akan datangnya serangan pasukan   Cirebon.   Untuk   mengantisipasinya,   Embah   Jaya   Perkasa   dan pasukannya, dengan seizin Prabu Geusan Ulun, menjaga daerah perbatasan. Menurut cerita tradisi, sebelum Embah Jayaperkasa berangkat, ia terlebih dahulu menanam pohon hanjuang di sudut alun-alun Kutamaya. Penanaman pohon itu dimaksudkan  sebagai  isyarat.  Jika  pohon  itu  tumbuh  subur,  berarti Embah Jayaperkasa memenangkan pertempuran. Sebaliknya, jika pohon itu mati berarti
ia kalah dan gugur.

Sementara  Embah  Jayaperkasa  beserta  pasukannya  berada  di  batas kerajaan, di keraton Kutamaya muncul pemikiran untuk memindahkan ibu kota kerajaan ke tempat lain yang jauh dari jangkauan pasukan Cirebon. Pemikiran itu didasarkan atas kekhawatiran, jika Embah Jayaperkasa kalah dalam pertempuran, Kutamaya akan menjadi sasaran serangan pasukan Cirebon. Tanpa memperhatikan isyarat dari Embah Jayaperkasa, ibu kota kerajaan pindah ke suatu tempat di kawasan Gunung Rengganis. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Dayeuh Luhur. Sebagian penduduk Kutamaya pun turut pindah mengikuti raja dan aparat kerajaan.

Disebutkan   dalam   sumber   tradisi,   bahwa   Embah   Jayaperkasa memenangkan pertempuran, kemudian ia dan pasukannya kembali ke Kutamaya.
Setibanya di Kutamaya, betapa kagetnya dia, karena didapatkan ibu kota itu sudah kosong. Sementara, pohon hanjuang yang ditanam di sudut alun-alun, tumbuh dengan subur. Setelah diperoleh informasi bahwa ibu kota kerajaan sudah pindah ke Gunung Rengganis, berangkatlah Embah Jaya Perkasa ke sana. Kesedihan Embah Jayaperkasa semakin bertambah, karena didapatkan Prabu Geusan Ulun beserta   ketiga   kandaga   lante   sedang   membicarakan   tewasnya   Embah Jayaperkasa.32 Kecewa atas kejadian itu Embah Jayaperkasa pergi meninggalkan keraton menuju suatu kabuyutan (semacam tempat semedi) dan selanjutnya ia
„ngahiyang“ (menghilang).33

Mengenai konflik antara Sumedanglarang dengan Cirebon, saran Sultan Mataram,34 akhirnya diselesaikan dengan cara damai. Sultan Cirebon
Pangeran Girilaya bersedia menjatuhkan talak kepada Ratu Hasibaya, dengan syarat Prabu Geusan Ulun harus memberikn tebusannya (kompensasi). Prabu
Geusan Ulun memberikan wilayah Sindangkasih (sekarang Majalengka) kepada Sultan Cirebon sebagai kompensasi. Setelah itu, berarti Ratu Harisbaya resmi
menjadi istri kedua Prabu Geusan Ulun, dan hubungan Sumedanglarang dengan Cirebon baik kembali.

Lubis, Nina Herlina, et al. 2004.
Laporan Penelitian Dokumentasi Situs-Situs, Mitos-Mitos dan Tradisi Lisan  di  Jatigede.  Bandung:  Pusat  Penelitian  Kemasyarakatan  dan Kebudayaan. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.

Saringendyanti, Etty. Masa Prasejarah Hingga Masa Hindu Budha (naskah belum diterbitkan), -------. 1996.

Penempatan Situs Upacara Masa Hindu Budha: Tinjauan Lingkungan Fisik Kabuyutan di Jawa Barat. Tesis Magister Arkeologi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

RUANG DALAM SENI Penulis: Pustakawan Madya ISBI Bandung

RUANG DALAM SENI
Penulis: Pustakawan Madya ISBI Bandung

A. Pengertian
Seni mencakup pengertian yang sangat luas, masing – masing defenisi memiliki tolok ukur yang berbeda, defenisi yang dikemukakan cenderung menitikberatkan pada sisi teoritir dan filosofi;

Herbert Read dalam bukunya yang berjudul The mean ing of art , menyebutkan bahwa karya seni merupakan usaha manusia untuk menciptakan bentuk bentuk yang menyenangkan.

Suzanne K Langer dalam  bukunya         Principles  of  art oleh Collingwood ( 1974 ) , mengatakan seni merupakan symbol dari perasaan, seni merupakan kreasi bentuk simbolis dari perasaan manusia.

Masih banyak kiranya definisi seni yang lain, sebanyak manusia dimuka bumi ini . Hal ini karena seni merupakan kebutuhan manusia dan merupakan hubungan manusia dan merupakan hubungan yang tak terpisahkan antara manusia, seni, dan lingkungannya.

Subject matter ialah rangsang cipta dalam usahanya untuk menciptakan bentuk bentuk yang menyenangkan . Bentuk menyenangkan adalah bentuk yang dapat memberikan konsumsi batin manusia secara utuh, dan perasaan keindahan kita dapat mendapat harmoni , bentuk yang disajikan serta mampu merasakan lewat sensitivitasnya . Subject Matter sebagai stimulus atau rangsangan yang ditimbulkan oleh objeck. Dalam sebuah karya seni hampir dapat dipastikan adanya subject matter, yaitu inti atau pokok persoalan yang dihasilkan sebagai akibat adanya pengolahan objeck ( baik objeck alam atau objeck image ) yang terjadi dalam ide seorang seniman dengan pengalaman pribadinya.


B. Ruang Tempat Penyajian

Perbatasan karya seni adalah sasaran akhir dan bukan titik pijak , tetapi kita perlu menentukan medan yang harus kita lakukan terhadap hasil pengamatan sementara sebelum menemukan batasan yang mapan . Dikatakan oleh De Witt H Parker  pembatasan tentang seni dan menggangapnya sebagai ekspresi suatu ungkapan . Ungkapan dapat kita lukiskan sebagai pernyataan suatu maksud perasaan atau pikiran dengan suatu medium. Lukisan atau patung adalah ungkapan , sebab merupakan perwujudan dalam warna yang bentuk bentuk ruang tentang gagasan seniman penciptanya mengenai manusia dan alam yang Nampak ( De witt Parker, 1946:13 ).

Suzana K Langer dalam makalah kritiknya, menyatakan bahwa ada hubungan diantara semua seni, terjadinya perbedaan diantara semua seni, terjadinya perbedaan diantara semua seni itu sebenarnya hanyalah perbedaan fisik karena adanya perbedaan medium dan material yang digunakan. Mengenai hal itu mengatakan demikian :

The Interrelation among all the art painting, sculpture and architecture,music, poetry,fiction, dance, and film, and any order you may admit have become a venerable old topic in aesthetics. It has lately become acceptable again to assert that all the arts are really just one “ art “ with a capital A; that the apparen tdifferences between painting and poetry, for istance are superficial due only to the diference of their materials. One artist paints with pigment . The order with word or one speaks in rhyme, and one in images and so forth ( hall, 1981:22 )

Perbedaan di antara semua seni; seni lukis, patung, arsitektur, musik, tari, puisi, piksi, film , kriya dan lain sebagainya mempunyai masalah yang sama di dalam estetika, adapun terjadinya perbedaan diantara seni hanyalah secara fisik, karena penggunaannya material yang berbeda. Perbedaan material yang terjadi di dalam proses cipta seni dalam mewadahi ungkapan perasaan sang seniman , maka terjadi cabang – cabang seni.


Medium merupakan sarana yang dipergunakan untuk menunjang terbentuknya sebuah karya seni. Medium tersebut nantinya merupakan susunan atau konfigurasi dari unsur penciptaan karya seni.

C. Ruang Daya Cipta

Secara indrawi seni dapat dibedakan menjadi beberapa cabang seni, seni visual menunjukan pada suatu keberadaan yang pasti dan sangat tergantung dari indra penglihatan. Jika dibandingkan dengan seni audio, walaupun sama – sama terikat ruang dan waktu seni audio lebih labil. Seni visual dibedakan menjadi dua jenis yakni :
1. Trimatra
2. Dwi Matra

Seni audio tergantung pada alat pendengaran , seni audio visual menunjukan adanya sifat sifat dalam jenis karya seni yang dapat dirasakan dengan dua indera , yaitu penglihatan dan pendengaran, termasuk dalam hal ini jenis cabang seni pertunjukan . Penghayat ataupun penonton akan terlibat dalam proses hayati lewat indera Penglihatan sekaligus pendengaran.

Seniman, Karya seni, dan penghayat merupakan tiga komponen utama pendukung kehidupan seni. Tidak satupun komponen tersebut dapat diabaikan keberadaannya. Karena kesatuannya yang dinamis memungkinkan seni hidup dan berkembang dalam masyarakat.Ketiganya saling interaksi yang dinamis dan kreatif, maka seni hidup dan berkembang dengan prosesnya yang kreatif , maka seni hidup berkembang dengan prosesnya yang kreatif dan dinamis pula ( HB .Sutopo;1991 )
Pementasan / Penyajian / Pameran seni merupakan salah satu bentuk aktivitas yang memungkinkan terjadinya interaksi tiga komponen tersebut dalam menembus keterbatasan. Pentas /pameran merupakan rekayasa yang dirancang bagi penghayatseni secara lebih luasdan efektif. Ia seharusnya menemukan maknanya yang hakiki, yang dirasakan baik oleh seniman maupun penghayatnya.

Pentas / pameran diharapkan menjadi ajang dialog yang kreatif antara nilai nilai artistic dengan nila nilai estetikanya, yang keduanya bertemu dalam konteks perpaduan yang diwarnai beragam maknanya yang sangat manusiawi dan demokratis. Sebuah dialog seni yang demokratis yang dilandasi ragam kehidupan batiniah yang berbeda yang mampu menciptakan makna yang tak perlu seragam, namun memungkinkan hadirnya suatu kepuasan yang sama yaitu kepuasan pengalaman emosional, disertai dengan maknanya yang mendalam , yang sanggup mempercayai kehidupan batiniah yang akan bermanfaat didalam mewarnai perjalanan hidup manusia secara utuh ( HB Sutopo;1991 ).

(1). Tingkatan pengamatan terhadap kualitas material,warna,suara, gerak,  sikap dan banyak lagi sesuai dengan jenis seni dan fisik lain.
(2). Penyusunan dan pengorganisasian hasil pengamatan merupakan konfigurasi dari struktur bentuk bentuk pada yang menyenangkan dengan pertimbanganharmoni, kontras, balance, unity yang selaras atau kesatuan yang utuh.
(3). Susunan hasil proses ( pengamatan ) juga dihubungkan dengan perasaan atau emosi, yang merupakan hasil interaksi antara persepsi memori dengan persepsi visual.

Kata Kunci: Seni, Ruang, Tempat

Thursday, April 28, 2016

Kujang Pada Lambang Organisasi Masyarakat Sunda Penulis: Novian Denny Nugraha

Kujang Pada Lambang Organisasi Masyarakat Sunda
Penulis: Novian Denny Nugraha

Eksistensi Kujang pada Lambang Organisasi Masyarakat Sunda di Jawa Barat, sebagai artefak khas masyarakat Sunda yang mengandung filosofis dan simbolis serta estetis yang dalam. Fenomena penguatan eksistensi identitas Kujang ini, terlihat juga pada kelompok penggemar music anak-anak muda kota Bandung. Komunitas  penggemar music metal yang nota bene merupakan kelompok masyarakat  yang sarat menggunakan symbol-simbol Barat, baik dari cara bermusik dan budaya visualnya, menggunakan Kujang sebagai identitas kelompoknya.
Perwujudan atau eksistensi symbol Kujang pada Organisasi Masyarakat Sunda ini, nerupakan perkembangan yang positip apabila dilihat dari sisi penguatan identitas entitas masyarakat Sunda, karena dengan adanya kesadaran penggunaan identitas dan artefak ke Sundaan ini, maka akan menguatkan eksistensi, sekaligus sebagai faktor pembeda dalam kemajemukan Indonesia ataupun dunia yang multi etnis.

Dalam penelitian ini, digunakan metode kajian analisis semiotic yang merujuk kepada analisis struktur bentuk, makna dan fungsi juga interelasi antar simbolnya. Metode Qualitatif deskriptif Interpretatif digunakan dengan tujuan untuk mengetahui kedalaman nilai dari kujang, mengetahui sikap organisasi masyarakat Sunda terhadap Kujang.
Hasil penelitian menunjukan, bahwa kujang mempunyai kedalaman makna yang tinggi secara simbolis, filosofis dan estetik, serta merupakan sebuah identitas yang dibangun oleh nilai-nilai primordial dan ketidak sadaran kolektif masyarakat Sunda, yang secara struktur mempunyai hubungan yang kuat antar elemennya.

Kualitas Nilai dari Kujang sebagai artefak khas masyarakat Sunda tidak sekedar benda fungsional yang merujuk kepada struktur cultural masyarakat Sunda yang mempunyai kultur peladang, tetapi juga mempunyai nilai-nilai filosofis, simbolis, dan estetis yang tinggi, yang merujuk kepada kedalaman makna dari Kujang.
Nilai pada tataran filosofis simbolis Kujang merepersentasikan tahapan dan tujuan hidup masyarakat Sunda, yang senantiasa diarahkan kepada kesadaran “ilahiah” menuju pencerahan hidup, yang dalam terminology konsep Kujang disebut Suwung Caang, Ca-wa-Nga, atau bersifat “manusia cahaya”, sebagai sebuah konsep kesadaran transedental dan sacral manusia Sunda.

Kata Kunci: Kujang, Mayarakat Sunda, Makna, dan Fungsi.


Formula Ornamen Dalam Tembang Sunda Cianjuran Penulis: Rosliani

Formula Ornamen Dalam Tembang  Sunda Cianjuran
Penulis: Rosliani

Tembang Sunda Cianjuran merupaakan seni pertunjukan sekar gending yang terdiri atas: penembang, pemain kacapi indung, pemain kecapi rinciki, dan pemain suling/rebab. Laugu-lagu dalam tembang sunda cianjuran dibagi ke dalam beberapa wanda, yaitu: papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, kakawen, dan panambih. Cara membawakan lagu pada setiap wanda tentunya berbeda, yakni memerlukan keterampilan khusus. Setiap wanda lagu mempunyai karakter masing-masing dalam cara membawakannya.

Penelitian ini mengkaji tentang formula ornament dalam tembang sunda cianjuran. Adapun permasalahannya terdiri atas tiga bagian, yaitu: (1) bagaimana hubungan antara melodi, rumpaka, dan dongkari dalam lagu-lagu tembang sunda Cianjuran?; (2) bagaimana formula ornament dalam lagu-lagu tembang sunda cianjuran?; dan (3) mengapa para penembang yang sudah mumpuni dan berpengalaman sebagai penembang kecendrungannya memiliki gaya yang berbeda dalam mebangun formula ornamennya?.

Hasil penelitian menunjukan, pertma dalam lagu-lagu tembang  sunda cianjuran, baik yang termasuk pada wanda papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, maupun kakawen, hubungan antara melodi, rumpaka, dan dongkari  sangat erat, dan satu sama lain saling ketergantungan. Dalam arti, keberadaan “melodi” pada lagu-lagu tembang sunda cianjuran cukup mengikat terhadap keberadaan ornament dan rumpaka lagu. Hubungan antara melodi dan rumpaka terjalin secara silabis atau melismatis.

Kedua, formula ornament dalam tembang sunda cianjuran terbentuk atas dau, tiga, empat, lima, enam, atau tujuh jenis dongkari. Keenam formula ornament ini dapat dikelompokan ke dalam dua jenis, yaitu: formula ornament tetap dan formula ornament variatif. Pada semua lagu tembang sunda cianjuran yang dianalisis dengan menampilkan empat orang penembang, ditemukan penggunaan dan penempatan dongkari yang kecendrungannya sama dari setiap penembang. Namun, pada bagian-bagian lagu tertentu ditemukan pula perbedaan penggunaan dan penempatan dongkari dari keempat penembang tersebut. Atas dasar hasil temuan ini, dapat dikatakan bahwa ornament dalam lagu-lagu tembang sunda cianjuran ada sifatnya mutlak, dan ada pula yang sifatanya tidak mutlak sebagai variasi atau gaya individu dari para penembang.

Ketiga, dari hasil studi komparatif terhadap empat penembang ditemukan sejumlah “formula ornament variatif” yang muncul dari masing-masing penembang. Munculnya formula ornament variatif dari setiap penembang ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) memeiliki keterampilan dan pengalaman dalam menggeluti dunia tembang sunda cianjuran, baik secara prakktik maupun nonpraktik (pengetahuan); (2) memiliki kekayaan perbendaharaan seni (khususnya seni vocal); dan (3) belajar dari guru yang berbeda.
Kata Kunci: tembang sunda cianjuran, ornament, formula.

Kreativitas Mang Koko Dalam Karawitan Sunda Penulis: Tardi Ruswandi

Kreativitas Mang Koko Dalam Karawitan Sunda
Penulis: Tardi Ruswandi

Mang Koko yang nama lengkapnya H. Koko Koswara, lahir di Indihiang Tasikmalaya,Provinsi Jawa Barat (Indonseia), pada tanggal 24 November 1915. Akan
tetapi pada waktu masuk sekolah formal, kelahirannya dirubah menjadi 10 April 1917 (Tatang Sumarsono, dalam Tardi, 2007:3). Dalam lingkungan keluarganya, Mang Koko merupakan anak tunggal dari pasangan suami istri Mochamad Ibrahim dengan Siti Hasanah. Sedangkan pendidikan formal yang ditempuh Mang Koko adalah HIS (Holands Inlandsche School) setingkat dengan Sekolah Dasar (SD), lulus ndan berizasah 1932 serta MULO (Meer Uitgebruid Lager Onderwjs) setingkat
dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), lulus dan berizasah 1936.

Pekerjaan yang pernah dilalui Mang Koko selama hidupnya adalah sebagai berikut: Pertama, Mang Koko bekerja sebagai karyawan Bale Pamoelangan
Pasoendan (Paguyuban Pasundan) bagian pendidikan. Kedua, pada tahun 1940 ia memilih bekerja di sebuah Bank yang bernama ‘De Javasche Bank’. Ketiga, pada
tahun 1942, Mang Koko pindah lagi menjadi pengurus advertensi (iklan) di Harian Cahaya Shimbun. Keempat, pada tahun 1945, ia bekerja sebagai administratur
Harian Suara Merdeka Bandung, dan pada zaman revolusi, harian tersebut pindah ke Tasikmalaya. Kelima, pada tahun 1950 hingga tahun 1961, Mang Koko bekerja di
Jawatan Penerangan Propinsi Jawa Barat. Keenam, pada tahun 1959, ketika Mang Koko masih bekerja di Jawatan Penerangan, ia bersama-sama dengan temannya mendirikan dan sekaligus memimpin Yayasan Cangkurileung yang tersebar hampir di seluruh Kabupaten dan Kotamadya se Jawa Barat. Anggotanya anak-anak sekolah dasar dan menengah. Ketujuh, pada tahun 1961 Mang Koko mengajar di KOKAR (SMKI) Bandung, bahkan selama 6 tahun hingga pensiun (1966-1972) ia menjadi direkturnya. Kedelapan, ketika Mang Koko memimpin KOKAR, pada tahun 1971 ia mendirikan ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) swasta, yang merupakan cerminan ketidaksabarannya menantikan kehadiran pendidikan tinggi karawitan
negeri. Pada waktu itu, Mang Koko dipercaya sebagai direkturnya. Kesembilan, pada tahun 1974 yaitu setelah pensiun dari KOKAR Bandung,

Mang Koko diangkat menjadi dosen Luar Biasa dan sekaligus diberi tugas sebagai ketua Jurusan Karawitan ASTI Bandung,yang sesungguhnya merupakan hasil
integrasi antara ASKI dan ASTI Bandung. Berdasarkan jenisnya karya-karya Mang Koko sebagai hasil kreativitasnya dalam mengembangkan karawitan Sunda,
terdiri atas: Sekar Jenaka, lagu-lagu Kawih (anggana dan rampak sekar), Gamelan Wanda Anyar, Kacapian, Etude Kacapi, dan Drama Suara atau Gending Karesmen.
Karya-karya Mang Koko tersebut, sekalipun dibuat baru, tetapi secara esensial masih mengakar pada karawitan tradisional, sehingga secara musikal karya tersebut
masih bernuansa karawitan Sunda.

Dalam hal kreativitas, Mang Koko dapat dikatakan pelopornya. Hal ini disebabkan karena Mang Koko telah banyak menularkan konsep kreativitas kepada seniman generasi berikutnya, dalam arti karya-karya Mang Koko sebagai hasil kretivitasnya, kebanyakan dijadikan pijakan oleh para seniman generasi penerus ketika membuat karya baru karawitan. Atas dasar hal itu, Mang Koko menjadi figur seniman yang patut dicontoh kreativitas dan kenerjanya dalam mengembangkan karawitan Sunda. Dalam pembahasan kreativitas, penulis menggunakan kreativitas pendapat Dedi Supriadi. Kaitannya dengan karawitan Sunda, kreativitas adalah kemampuan seniman dalam melahirkan karya karawitan yang berbeda dengan karya karawitan
sebelumnya. Untuk itu dalam mengungkap Kretivitas Mang Koko dalam Karawitan Sunda, dapat dilakukan dengan menjelaskan penggalian dan penciptaan yang dilakukan Mang Koko.

Kata kunci: Mang Koko, Kreativitas, Karawitan Sunda

Pelestarian Dan Pengembangan Seni Ajeng Sinar Pusaka Pada Penyambutan Pengantin Khas Karawang/ Rosikin Wikandia

Pelestarian Dan Pengembangan Seni Ajeng Sinar Pusaka Pada Penyambutan Pengantin Khas Karawang/ Rosikin Wikandia

Melestarikan dan mengembangkan kesenian dalam transisi kepunahan, khususnya salah satu jenis kesenian khas Karawang, yaitu seni Ajeng adalah tanggungjawab
bersama antara kreator, intansi terkait, dan masyarakat pendukungnya. Kesenian Ajeng memiliki kekhasan tersendiri, yang bisa mandiri dalam penyajiannya (bentuk
isntrumental) dan penyajian dalam mengiringi taria Soja. Kerberadaan group seni Ajeng pada tahun 2006, hanya tinggal 2 (dua) group dari asalnya 8 (delapan) group,
yaitu sanggar seni Ajeng Sinar Pusaka pimpinan Abah Tarim (Ican Saputra), dusun Bambu Duri Karang Pawitan, dan group Ajeng Nyumplon Pagadungan Jayanagara
Cikampek. Sehingga timbul pertanyaan mengapa seni Ajeng dalam transisi kepunahan? Hal ini dikarenakan berbagai masalah, di antaranya kurang tradisi
penggenerasian, kreativitas seniman, kurang pembinaan dari intansi terkait, dan maraknya seni moderen. Maka seni ajeng ini dikatakan hampir punah, bahkan tidak
berkembang. Begitu pula dengan kemasan karya seni Ajeng harmonisasi musik (karawitan) dan tarian Soja Ajeng tersebut kurang pareasi dan dinamis, sehingga
berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan seni Ajeng itu sendiri.

Yakob Sumardjo (2000:84) mengemukakan, bahwa manusia menciptakan sesuatu bukan dari kekosongan, manusia menciptakan sesuatu dari yang telah ada sebelumnya. Setiap seniman menjadi kreatif dan besar karena bertolak dari bahan yang telah tercipta sebelumnya, istilah yang biasa kita sebut tradisi. Kebiasaan ini yang diwariskan secara turun temurun dari genersi ke generasi, sehingga proses kreativitas seniman tidak bisa terbentuk dalam karya seninya, maka tak bisa kita pungkiri bahwa penciptaan karya seni bertolak dari sesuatu yang telah tersedia dalam lingkung kultur sosial masyarakatnya. Karya kreatif dari para seniman pendahulu ini sebenarnya merupakan hasil pergulatan seniman dengan bebagai persoalan budaya dan masyarakat pada zamannya (Yakob Sumardjo, 2000:84).

Potensi seni budaya sebagai kearifan lokal sangat berperan penting dalam upaya mengusung kebudayaan Nasional, maka sewajarnya potensi seni yang dimiliki oleh
daerah perlu diperhatikan pelastarian dan pengembangannya oleh intansi terkait. Hal ini ditunjukkan dengan mencoba membina kesenian Ajeng sebagai salah satu seni khas
Karawang, yang memiliki gaya yang berbeda dengan jenis seni lainnya. Berdasarkan kajian hal tersebut di atas secara tidak langsung telah memberikan gambaran pada kita bahwa kesenian Ajeng, walaupun hanya tinggal satu group dari sekian banyak group Ajeng, masih tetap bertahan hidup. Kehidupan seni Ajeng, khususnya pada sanggar seni Ajeng “Sinar Pusaka”, pimpinan Abah Tarim Ican Saputra ini, hidup di tengah hiruk pikuknya seni moderen yang sedang menjalar di seluruh pelosok Karawang. Sedangkan proses kreativitas senimannya dalam mengharmonisasikan antara seni karawitan dan tarian Soja terus diupayakan tetap berproses sejalan dengan arus  kehidupan masyarakatnya.

“Pelestarian dan Pengembangan Seni Ajeng Sinar Pusaka Dalam Penyambutan Pengantin Khas Karawang “. adalah merupakan judul tulisan ini, yang diharapkan hasilnya secara tidak langsung dapat memberikan gambaran tentang bagaimana keberadaan kesenian yang ada di kabupaten Karawang, khususnya pada seni Ajeng. Maka upaya apa, yang dilakukan dalam pelestarian dan pengembangan seni ajeng Sinar Pusaka Abah Tarim, dan bagaimana harmonisasi antara music (karawitan) dan tarian Soja pada seni Ajeng?, juga masih banyak lagi yang lainnya , yang penulis ingin ketahui kaitannya dengan penelitian. Hal ini  dikarenakan ada beberapa kemungkinan untuk dapat mengetahui permasalahan yang diteliti di lapangan.

Adapun keutamaan dalam penelitian ini, dikarenakan kondisi daerah Jawa Barat pada umumnya memiliki beberapa peranan yang sangat strategis dalam pelestarian dan
pengembangan seni budaya, khususnya bagi ksesenian Ajeng” Sinar Pusaka” pimpinan Abah Tarim Ican Saputra, seperti diungkapkan Ii wahyudi (1987:12)
“Kesenian Ajeng merupakan salah satu bentuk kesenian, yang berfungsi sebgai upacara pangajeng-ngajeng khusus untuk pengantin khas Karawang dengan memiliki tarian soja dan iringan musik yang khas sebagai seni Ajeng”. Kesenian Ajeng ini masih hidup dan      berkembang, yaitu di kampung Bambu Duri RT02/22, Desa Karang Pawitan, Karawang adalah seni yang menyajikan dua bentuk penyajian berbeda tetapi dalam satu irama yang berfungsi sebagai penyambutan dalam upacara pengantin khas Karawang.

Kata kunci: Ajeng, Tari Soja

BENTUK PENYAJIAN KARYA SENI YANG BERKAITAN DENGAN “PENONTON” Penulis: Pustakawan Madya ISBI Bandung

BENTUK PENYAJIAN KARYA SENI YANG BERKAITAN DENGAN “PENONTON”
Penulis: Pustakawan Madya ISBI Bandung

Karya seni apapun itu (kecuali seni kalangenan), pada saat ini memiliki kecenderungan untuk dipertontonkan kepada penonton (audien).Penonton memiliki daya untuk membuat karya seni seseorang berada pada tataran eksistensinya.Karena pada dasarnya antara karya seni dengan penonton memiliki hubungan interaksi yang tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan sifatnya, ada tiga bentuk penyajian karya seni yang berhubungan dengan ‘penonton’ dalam penyajiannya, di antranya: seni pertunjukan, pameran, dan film.

1. Seni Pertunjukan
Seni petunjukan merupakan seni yang disajikan secara langsung dihadapan penonton yang statis diam di satu tempat dengan mengetangahkan sebuah karya seni dalam bentuk audio visual.Seni yang sering diidentikan dengan pertunjukan adalah seni teater, tari, dan musik (karawitan).Selain tiga aspek seni tersebut, ada pula seni yang identik dengan pameran seperti seni rupa, keberadaannya selalu menyertai bebearapa sajian pertunjukan, misalnya saja untuk properti dan arsistik panggung.

Pertunjukan bagi Schechner merupakan ranah yang sangat luas dan selalu terkait dengan pertunjukan, kejadian, peristiwa yang berada di lingkungan kita.Rekonstruksi pembunuhan, pemilihan kepala desa, kampanye, pemilihan umum, demonstrasi menurutnya bisa menjadi pertunjukan, tetapi bukanlah seni pertunjukan. Seni pertunjukan akan terlihat kemasannya yang memiliki bobot estetik (Jaeni, 2014:5). Sekaitan dengan hal tersebut, penulis sependapat dengan Schechner, bahwa tidak semua yang kita tonton adalah tontonan (seni pertunjukan).Dalam keseharian, kita mungkin pernah secara tidak sengaja berhenti di jalan, untuk melihat kecelakaan lalulintas, pencopet yang tertangkap. Lalu kita akan mendengar ungkapan “Sudah! Sudah! Ini bukan tontonan!’, “Bubar!, memangnya ini pertunjukan?” dan sebagainya. Perkataan tersebut mensiratkan adanya pemisahan antara yang benar-benar tontonan dan yang bisa dianggap (seolah-olah) tontonan.

Lalu kapan sebuah peristiwa menjadi benar-benar tontonan? Ternyata,  suatu aktivitas baru disebut sebagai tontonan apabila ia dilakukan dengan kesengajaan maksud untuk dilihat oleh orang lain, dipertontonkan atau digelar. Jadi, kehendak untuk mempergelarkan sesuatu merupakan sifat pertama tontonan.Selain itu, ketidakbiasaan merupakan sifat seni pertunjukan yang kedua.Orang pergi menonton suatu pertunjukan dengan kesadaran dan harapan ia akan menjumpai, mendengar, melihat, mengalami hal-hal yang tidak biasa.

Sementara itu, Schechner dalam Jaeni (2014:12) mengatakan, “in the theatre,…it is necessary to live as if ‘as if = ‘is.”(Di dalam sebuah pertunjukan teater atau drama seorang aktor memperlakukannya dunia khayal seakan-akan nyata).Seorang aktor harus pandai berpura-pura menjadi raja, pahlawan, perampok, putri yang bijak, cerewet atau anggun hingga meyakinkan untuk membuat penonton percaya.Seorang pangrawit atau penari harus berusaha menampilkan suasana ‘gembira’ sesuai dengan karakter karya yang dibawakan, sementara keadaan emosinya sedang bersedih.

Dengan demikian, karakteristik seni pertunjukan dapat kita rumuskan sebagai berikut.
Disajikan langsung ke hadapan penonton.
Hanya menyajikan sebuah karya seni.
Penonton diam di suatu tempat.
Karya seni disajikan oleh manusia.
Karya seni berupa audio-visual.
Bentuk seni terdiri dari: Teater, Tari, Musik (Karawitan).
Merupakan karya yang tidak ‘biasa’.
Memiliki fungsi dalam konteks ritual, hiburan, dan propaganda (iklan).
Memiliki kecenderungan adanya interaksi aktif antara karya seni yang ditampilkan dengan penonton.
Disajikan dalam sebuah arena tertutup (gedung pertunjukan) dan arena terbuka (lapangan).
Dinamis/pleksibel dalam hal penyajiannya, biasanya disesuaikan dengan situasi dan kondisi (tempat, penonton).
Terikat oleh ruang, waktu dan peristiwa. Sehingga cita rasa ‘feel’ yang diperoleh oleh penonton hanya dapat dirasakan pada saat itusaja, karena boleh jadi dengan karya seni yang sama, belum tentu perasaan yang dirasakan oleh penonton akan sama. Karena hal ini berkaitan dengan manusia yang menjadi media seni yang memiliki tingkat emosional yang berbeda-beda tiap waktunya.

2. Pameran
Karakterisitik yang terdapat dalam sebuah pameran dalam arti memamerkan karya seni rupa di antaranya.
Disajikan langsung kepada penonton.
Menyajikan beberapa karya seni.
Penonton/pengunjung dinamis.
Karya seni disajikan melalui benda.
Termasuk karya seni dalam bentuk visual.
Macamnya a.l. lukis, patung, kriya.
Penyajiannya dapat dilakuakan di arena tertutup atau terbuka.
Interaksi antara penonton dengan karya yang disajikan bersifat satu arah (pasif).
Penyajian statis/tetap, hal ini berkaitan dengan mediumnya berupa benda sehingga nilai estetis yang dirasakan oleh penonton relatif statis.
Memiliki fungsi dalam konteks hiburan, propaganda (iklan).

3. Film
Sesuatu hal yang aneh terjadi pada film, karena umumnya masyarakat bahkan pemerintah membedakan antara seni dengan film.Pada hal, di dalam sebuah produksi film terdapat berbagai konsep, ide, dan medium seni yang digunakan sebagai sarana penunjang terciptanya sebuah film.Dengan demikian, film sebagai karya seni tentu saja memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan proses yang dilalui dalam proses terbentuknya sebuah film, di antaranya:
Disajikan ke hadapan penonton melalui proses media rekam.
Hanya menyajikan sebuah karya seni.
Penonton diam di suatu tempat.
Karya seni disajikan/diekspresikan melalui manusia/pelaku (makhluk lain).
Termasuk karya seni dalam bentuk audio-visual.
Terdiri dari film layar lebar, TV.
Disajikan di arena tertutup atau terbuka (layar tancap).
Tidak ada interaksi dengan penonton (komunikasi pasif).
Penyajian statis/tetap.
Memiliki fungsi dalam konteks hiburan, propaganda (iklan).

Sekaitan dengan prinsip relativitas, Whitehead menyatakan bahwa setiap pengada (being) adalah suatu sumber daya (a potential) untuk suatu proses ‘menjadi’ (becoming) satu satuan aktual yang baru. Apa dan siapa sesuatu atau seseorang itu amat ditentukan oleh bagaimana ia secara aktif menjalin relasi dengan seluruh kenyataan yang ikut mempengaruhi dan membentuk dirinya (Sudarminta, 1991:38).Sementara itu, Whitehead dalam Sudarminta juga berbicara mengenai kategori ‘proses’ atau ‘menjadi’ yang merupakan suatu realitas primer, dalam sistem pemikirannya mutlak diperlukan adanya prinsip dasariah yang memungkinkan terjadinya gerak proses tersebut. Prinsip dasariah tersebut adalah apa yang oleh Whitehead disebut prinsip ‘creativity’. Yang dia maksudkan dengan istilah ini adalah prinsip yang mendasari terjadinya proses konkresi yang melahirkan satu satuan aktual baru dari banyak satuan aktual lain yang sudah komplit atau sudah mencapai kepenuhan (‘satisfaction’) mereka (Sudarminta, 1991:39).
Proses kreatif yang dilakukan oleh pelaku seni dalam mencari nilai ‘kebaruan’ boleh jadi sebagai manifestasi dari pengalaman empirik dari kreator itu sendiri yang telah terinternalisasi dalam dirinya. Hal ini merupakan refleksi dari campuran beberapa satuan aktual yang akan membentuk satu satuan aktual yang lain.  Sehingga pada akhirnya, ketika seorang seniman berkreasi maka ia akan melakukan pencampuran pengalaman empiriknya yangdianggap ‘baik’ menurut pemikirannya dan sekaligus sebagai perwujudan aktualisasi diri.
Dengan kalimat lain, nilai “kebaruan” dalam sebuah karya seni akan sangat tergantung dari seberapa banyak pengalaman empirik yang diperoleh kreator itu sendiri dan apresiatornya. Bagi yang awam dengan diatonis, karya Mang Koko merupakan salah satu contoh karya “baru” pada jamannya (ruang, waktu dan peristiwa), akan tetapi jika kita telisik dari pola ritmis dan harmonisasinya yang terkontaminasi musik Barat tentu saja akan sangat hati-hati menyatakan bahwa karya tersebut benar-benar “baru”, apalagi sistem pirigan dan posisi lagu masih menggunakan pola yang suda ada. Selama sistem dan struktur yang digunakan dalam sebuah sajian seni pertunjukan masih menggunakan pola yang sudah ada, tentu saja kata “baru” itu masih klise untuk dipertanyakan kembali sejauh mana kebaruannya.
Walaupun demikian, setidaknya ada beberapa ciri yang harus diperhatikan dalam menyusun Tugas Akhir penciptaan ini, di antaranya:
1. Orisinal, dan tidak sebatas memoles, mengkemas kembali atau menata ulang dari produk-produk karya seni yang sudah ada/pernah ada (relativitas kebaruan).
2. Harmonisasi dari paduan sejumlah medium seni, artinya setiap kreator  (penyaji) harus dapat memanfaatkan seluruh media seni yang ada (tari, musik, teater, rupa dan film). Tentu saja pada praktiknya kecenderungan yang berkaitan dengan kompetensi kreator akan sangat mempengaruhi bobot medium seni yang digunakan. Misalnya: jika kreatornya seseorang yang lebih kompeten di bidang karawitan, tentu saja karya yang dibuat atau dihasilkan berpengaruh terhadap persentase media karawitan yang lebih besar. Akan tetapi, pada akhirnya setiap penyaji dituntut untuk memanfaatkan semua aspek seni pada karyanya.
3. Mengandung nilai-nilai positif, baik berkaitan dengan tata kehidupan bermasyarakat maupun berbudaya/berkesenian.
4. Mengandung semangat merekonstruksi dan merevitalisasi kesenian yang eksistensinya hampir surut dengan sentuhan kreativitas, sehingga pada akhirnya kesenian itu dijadikan sebagai sumber garapan dengan konsep untuk mewujudkan karya seni pertunjukan.
5. Mengedepankan inovasi yang berakar pada benang merah nilai identitas yang berakar dari kearifan lokal yang terkait pula dengan kontekstualitasnya.
6. Hasil dari inovasi yang berangkat dari kegelisahan akan kontekstualitas seni pada jamannya. Misalnya: pupuh raehan yang di dalamnya terdapat pola harmonisasi musik Barat, merupakan jawaban atas kondisi remaja saat ini yang umumnya lebih banyak bersinggungan dengan musik Barat dalam kehidupan sehari-harinya. Hal tersebut merupakan salah satu strategi untuk menumbuhkan kecintaan kaum remaja terhadap pupuh buhun.
7. Hasil dari inovasi sintetis. Unsur-unsur pembentukan karya seni ini merupakan perpaduan dari beberapa jenis kesenian, sebagai contoh dalam benak penulis ingin mengangkat naskah pantun untuk direnovasi, revitalisasi berdasarkan kontekstualitas pada saat ini. Pada prosesnya, tentu saja akan sangat tergantung dengan keadaan pengalaman seni yang dimiliki oleh penulis. Prinsip sintetis dapat dilakukan dengan cara mengambil beberapa repertoar dan medium seni seperti dari karawitan wayang golek, tembang Sunda cianjuran dan lain-lain yang dianggap representatif dalam memunculkan kembali naskah pantun yang jarang dijumpai.


DI ANTARA MACAM SUBSTANSI MEDIUM UNGKAP SENI
Berbicara mengenai medium ungkap seni terkai pula dengan apa yang disebut dengan wujud seni. Wujud mempunyai arti yang lebih luas daripada ‘rupa’. Oleh karena dalam kesenian banyak hal lain yang tidak nampak oleh mata seperti misalnya: suara gamelan, nyanyian, tetapi jelas mempunyai wujud.Wujud seni terdiri dari: bentuk dan struktur.Bentuk adalah unsur terkecil yang mendukung terwujudnya sebuah karya seni.Struktur atau susunan adalah cara-cara bagaimana unsur-unsur dasar dari masing-masing kesenian dapat tersusun hingga berwujud.
1. Teater merupakan kesenian yang paling kompleks, karena dalam seni teater memerlukan beberapa unsur kesenian seperti: seni sastra, seni tari(gerak), musik,
2. seni rupa (artistik panggung). Bentuknya: gerak(akting), dialog, monolog, suara (vokal), sedangkan wujudnya : Longser.
3. Tari adalah gerak berirama, merupakan seni yang menitikberatkan pada gerak tubuh manusia dan dinikmati secara visual.Pada umumnya tari tidak terpisahkan dari dukungan musik.Bentuknya : gerak tubuh Wujudnya : Jaipongan, Badaya.
4. Seni Musik/Karawitan: pada dasarnya lebih bersifat auditif karena hal pertama yang dapat dinikmati dari sebuah alat musik adalah suaranya.Bentuk: nada, ritme, irama (tempo), dan birama.Wujudnya: instrumental, vokal dan campuran.Musik adalah produk pikiran manusia  yang diimplementasikan dengan cara menyusun suara atau bunyi (baik yang bernada atau tidak bernada) secara struktural.Struktural: misalnya melodi pokok dibawakan gambang, iringan oleh saron, bonang, rincik, dan goong.Musik adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa berdasarkan ritme, tempo, timbre dan dinamika.Sementara itu, dalam bahasa musik antara suara dan bunyi memiliki maksud tertentu. Suara ditujukan untuk penamaan terhadap sumber musik yang berupa benda hidup (suara manusia), sedangkan bunyi untuk penamaan terhadap sumber musik dari alat musik.
5. Seni Rupa, seni yang hanya bisa dinikmati oleh visual (mata).Bentuknya : titik, kumpulan titik menjadi garis,kumpulan garis menjadi  bidang dan kumpulan bidang menjadi ruang. Wujudnya : Lukisan.
6. Film adalah karya manusia yang memiliki medium seni cukup kompleks dengan ditunjang pula oleh teknologi digital yang sangat canggih. Bentuknya terdiri dari: naskah, dialog, musik, artistik (rupa), potografi, lukisan (properti), dan tata cahaya. Wujudnya terdiri atas film bisu dan film suara.
7. Seni Sastra, merupakan salah satu bentuk seni yang imajinatif, karena media yang digunakan adalah kata-kata.Bentuknya: hurup,kalimat, kata-kata.Wujudnya : novel, puisi, dan dongeng.

Kata Kunci: Karya Seni,Macam-bentuk

Wednesday, April 27, 2016

BENTUK DAN FUNGSI KEBAYA SUNDA DALAM KONTEKS KEKINIAN Penulis:Rika Nugraha.

BENTUK DAN FUNGSI KEBAYA SUNDA DALAM KONTEKS KEKINIAN
Penulis:Rika Nugraha.

Penelitian ini mengenai kajian Fungsi dan bentuk Kebaya Sunda Dalam Konteks Kekinian. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut. Pertama,  Bagaimana   kebaya Sunda mengalami pergeseran fungsional, pergeseran estetis, dan pergeseran material dalam konteks kekinian?. Kedua, Bagaimana  perkembangan desain kebaya Sunda sehingga menurunkan sub-subdesain kebaya baru?. Ketiga, Apakah  pola-pola lama kebaya Sunda masih tetap terpelihara setelah kebaya tersebut mengalami perkembangan ?.

Adapun tujuan dari penelitian ini: Pertama, Mengetahui  kebaya Sunda yang mengalami perkembangan desain, pergeseran fungsional, pergeseran estetis, dan pergeseran material. Kedua, Mengidentifikasi perkembangan kebaya Sunda sehingga mendapatkan sub-subdesain kebaya baru. Ketiga, Mengetahui pola-pola lama kebaya Sunda masih tetap terpelihara setelah kebaya tersebut mengalami perkembangan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan teori Papanek. Pendekatan ini dipilih untuk menganalisis bentuk dan fungsi terhadap perkembangan desain kebaya sebagai busana tradisional perempuan Sunda . Data diperoleh melalui observasi, wawancara, studi pustaka studi dokumentasi yang validitasnya dapat dipertanggungjawabkan.

Sejak kebaya dikenal masyarakat hingga kini, kebaya mengalami perkembangan rupa yang dapat mewakili zamannya. Keterbukaan masyarakat yang dipicu oleh reformasi di segala bidang, secara tidak langsung berdampak pula pada perempuan Sunda bebas dalam berkreasi sehingga rancangan dunia fashion pun terbuka luas. Kebaya Sunda kembali mendapat tempat tidak saja menarik untuk dikenakan, tetapi mampu mengikat kalangan remaja dan perempuan dewasa sebagai sarana mengeskpresikan diri dalam penampilan.

Hasil dari penelitian ini bahwa Pergeseran bentuk dan fungsi kebaya memiliki implementasi variatif di masa kekinian, tak sekedar dalam konteks eksistensi kebaya, namun telah menjadikan kebaya Sunda media kreasi desainer dan para pencinta kebaya. Fungsi kebaya Sunda tak lagi sebagai pelengkap busana untuk acara formal, merambah pada potensi komoditas dan kompetitif industri kreatif bidang busana.

 Perkembangan estetis kebaya Sunda lebih merujuk kepada tampilan kebaya Sunda secara khusus pada material yang digunakan. Pergeseran material pada kebaya Sunda mengalami perkembangan pesat, seperti mengangkat motif budaya lokal dalam pecitraan kebaya Sunda.Dalam perkembangan sub-sub kebaya Sunda memiliki fungsi Translokus yang memuat kreatifitas, trend, media ekspresi kreatif bagi para urban lokal dan interlokus terutama bagi pencinta Kebaya Sunda.

Kata Kunci: Kebaya Sunda, Kekinian, Pergeseran

RESUMME FILSAFAT SENI Penulis: Pustakawan Madya ISBi Bandung

RESUMME FILSAFAT SENI
Penulis: Pustakawan Madya ISBi Bandung


Fungsi seni masih kita dapatkan hidup ditengah-tengah kita sekarang ini, karena masyarakat pendukung nya masih ada. Apa yang kita sebut sebagai”seni tradisional” itu masih difungsikan sebagai bagian dari upacara”slamatan” .kadang seni itu merupakan upacara itu sendiri. Karena fungsinya ritual, maka simbol-simbol seni yang ada di dalamnya tentu berhubungan dengan sistem religi atau kepercayaan mereka.

Memang tidak setiap benda seni lama berfungsi religius. Banyak benda-benda seni untuk kepentingan sekuler pula. Namun sepertiakan kita lihat uraiannya. Benda-benda seni yang dipergunakan untuk upacara ternyata mempunyai proses pembuatan yang sifatnya juga ritual. Sedangkan benda-benda yang sama untuk kepentingan sekuler tidak diproses dengan upacara.

Benda-benda seni yang dikupas dalam buku ini berasa dari konteks berfikir kolektif pra-modern semacam itu.tetapi karena seni modernpun berurutsan dengan spiritualitas, sesuatu yang teresenden, yang baru, dan segar dari yang belumpernah ada atau diciptakan orang, maka seni tradisional juga berurusan dengan itu. Bahkan bukan hanya itusebatas pengetahuan tentang yang trasenden, tetapi juga mengimani hadirnya yang transeden tersebut.

Mikromos, makrokosmos, dan metakosmos
Hidup di dunia ini sakral hubungan manusia dengan alam adalah hubungan persamaanmikrokomos adalah makrokomos .manusia adalah putra alam. Alam adalah nenek moyang manusia Karena alam adalah nenek moyangnya, maka alam adalah kearifan, alam adalah guru yang mengajar manusia, manusia tunduk dan tergantung pada alamnya.

Manusia juga dualistik ada perempuan ada laki laki, ada binatang kecil ada binatang besar, ada bintang di langit ada bintang di bawah ada gunung ada dataran, ada daratan ada lautan. Ada hulu ada hilir.ada pangkal pohon yang menghujam bumi dan ada pucuk yang menjngkau langit. Ada tanah dan ada air. Ada api ada angin.

Manusia melihat alam ini terlihat dua dalam entitas pasangan-pasangan, bahkan dewa-dewa diluar dunia manusia, terlebih dua dalam entitas, pasangan-pasangan, itulah sebabnya manusia belajar dari kenyataan alam. Manusiapun juga ternyata juga pasangan dualistik, lelaki perempuan , kalau dunia ini isinya lelaki melulu, maka manusia menjadi dewa.


Kosong itu adalah keabadian, tidak berawal ada dengan sendirinya karena kosongitu adalah infinitas, abadi dan tidak terbatas, maka tidaklain adalah isi yang sepenuh penuhnya isi. Kosong itu tidak bersifat, tetapi mengandung semua sifat yang dikenal isi.

Kosong dan isi ini dlam masyarakat sunda yang berladang ini diterjemahkan kepada alam, langit yang kosong dan bumi yang isi, langit yang nampak bagi manusia kosong itu sejatinya isi. Sedangkan bumi yang nampak bagi manusia kosongitu sejatinya isi, justru kosong itu karena manusia di bumi ini hanya sementarasedangkan ladang dan bumi bersifat laki-laki, langit itu air, basah; bumi itu tanah yang kering. Atap rumah itu bersifat perempuan karena basah oleh air hujan, sedang kolongrumah bersifat laki-laki, dan harus senantiasa kering, maka kayu kering boleh di simpan di kolongrumah, begitupula benda-benda perempuan, hanyaboleh disimaan di dekat atap. Pada ruang atap masyarakat bugis hanya boleh memasuki oleh gadis-gadis yangbekerja menenun kain disitu.

Pasangan metakomos kosong dan isi atau wadh dan isi diterjemahkan dengan pasangan makrokomos dan mikrokomos, pasangan manusia dengan alam, seperti manusia dengan prisainya, yangterbuat dari batang kayu.Manusia senantiasa membuat dan menggunakan benda-benda yang berasal dari alam, manusia di dunia ini mau takmau hidup dari alam dunia ini. Alam ili sudah ada sebelum manusia ada.

Pasangan sifat-sifat alam dan sifat sifat manusia ini adalah merupakan pasangan kosong dan isi. Manusia yang isi itu sebenarnya kosong sehingga memerlukan transanden kosong yang sejutanya isi itu, manusia itu impoten dalam alam pikiran peligius purba, sehingga memerlukan potensi transanden yang non eksisten, non maninfestasi, dan non aksi tersebut. Meskipun pada dasarnya manusia itu impoten ietapi ia bisa berpoten karena menyatukan diri, menjodohkan diri dengan benda benda yangterbuat dari alam, maka dengan demikian terdapat tingkat tingkat potensi manusia.

Kebudayaan permodial itu merupakan permainan pasangan perpasangan dualitas
Paradoks adalah kualitas sempurna, kualitas bermakna, kualitas otentik. Hidup ini bebas karena menyatu dengan makro komos dan meta kosmos tetapi lebihpenting hidup ini berpotensi mengandung daya daya transanden meta osmosyang kosong pada dasarnya kosongdan infinitas itulah, yang ingin di hindarkan manusia dalam kehidupanya.

Kosong sebagai paradoks
kosong adalah totalitas ada , sedangkan isi adalah bagianya. Manusia indonesia purba terbagi dua dalam menghadapi situasi ini, sesuatu paradoks itu. Pertama, kondisi paradoks yang terlihat dalam isi itu tetap di biarkan dalam kondisi konflik. Hal ini terlihat dalam masyarakat berekologoi hutan rimba raya dan kelautan.

Hidup itu memang konflik. Bertentangan abadi dari duakualitas yang saling bertentangn. Budaya ini bermotif perang, berhubungan dengan kematian dan permusuhan. Serta kemusnahan. Akan tetapi justru itulah hidupnya. Hidup ini, isi ini, paradoks sejak awalnya. Kalau mau tetap hidup harus ada kematian dan kerusakan. Ritul ritual korban dan penyembelihan dan penghancuran benda benda berdasarkan pola berpikir ini, sebab kmatian adalah kehidupan.mitologi-mitologi mereka dipenuhi oleh kehancuran, kematian sesuatu yang menjadi penyebab sesuatu hal yang lain.

Kedua, motif perkawinan atau harmoni. Ini terjadi dilingkungan masyarakat indonesia yang hidup dari pertanian baik sawah maupun ladang. Paradoks budaya ladang hanya mengenal entitas paradoks tunggal, yaitu dunia tanah. Sedang pada budaya sawah, entitas paradoksnya bernilai pusat karna himpunan dari berbagai pasangan dualistik. Tingkat paradoks orang sawah lebih rumit.Kosong sebagian paradoks sifat-sifat hanya mengikuti pikiran manusia. Kosongitu tetap kosong bagi manusia karna tamampu terjangkaunya. Kosongitu paradoks bagi manusia tetapi tidak paradoks pada dunianya sendiri.

Penyebutan kosong, paradoks, adalah pemahaman manusia yang terbatas, Finitas, terhadap sesuatu yang tak terbatas, infinitas. Kata seni berasal dari bahasa melayu yang artinya halus kecil dan lembut. Karya seni yaitu wjud membenda seni, tida pernah di sebut seni seperti dalam pengertian moderen kita. Jadi dasar seni adalah kebenarannyadulu patokanyadulu, yang patokan itu ada dasar filosofisnya. Estetikanya (menurut sebutan moderen) adalah prjalanan ketingkat halus stadi. Seni itu hakikatnya linglung. Membuat manusia hilang kesadaran subjektifnya. Menyatu dengan bentuk seninya. Subjek menjadi objek. Inilah peristiwa majenun, peristiwa sadar taksadar, paradokssal, diri sebagai benda seni; benda sebagai bendadiri.

Dalam seni tradisi etnik indonesia logika dulu yang harus dikuasai. Tahap lebih lanjutnya adalah wirasa, sangpenghayat menyatu dengan objek penghayatan. Jadi estetika menjadi puncak tatan nilai yang lain. Menyanyilah, maka nyanyianmu menunjukan asal daerahmu. Menggambarlah saya tau asal budayamu. Seni menunjukan bangsa, masyarakat adalah seninya. Seni adalah puncak budaya karna seni berkaitan dengan religi suku. Dan semua religi berhubungan dengan daya-daya transenden yang halus dan tidak nampak, namun ada hadir-being-being.

Seni menghadirkan yang halus taknampak menjadi nampak berwujud. -becoming.seni pada dasarnya paradokssam, seperti halnya manusia itu sendiri paradoks sam.dakam seni tradisi etnik semua itu diwujudkan dalam simbol-simbol seni, dan seni itu sendiri, halus itu sendiri, hanya dapat hadir dalam simbol inilah sebabnya seni tari tradisi etnik indonesia menampilkan wujud yang aneh-aneh, tidak logis, tida empiris. Karna aneh, asing, lain itu adalah seninya, kehadiran harusnya, kehadiran taknampak dan yang tidak nampak.

Bentuk wayang itu antara mirip manusia dan tidak mirip manusiasamasekali. Sesungguhnya ada logika dibalik benda-benda seni indonesia. Logika itu harus di tlusuri dari benda-benda seninya. Patokan religinya adalah karna merah itu warna selatan, hitam itu warna utara putih itu warna timur, dan kuning itu warna barat. Seni etnik adalah medium. Seni yang di rumuskan dan di ucapkan bukan senilagi karna seni itu halus, yang transanden itu tidak bernama, tidakbisa dikatakan. Kalau nekat menuliskanya jugadalam kata kata, maka yangterjadi adalah kemiskinan, reduksi atas nilai itu sendiri. Disitu tida bermain logika, aturan benar salag dan logis dan tidak logis.

Disini tidaklah berlakulagi hukum kausalitas tidak logis, tetapi hukum spontanitas-trensanden. Dipandang dari sudut ini maka semua seni yang tanda’’ seni‘ irasional. Pengetahuan melibatkan dua sumbernya yaitu subjek yang mengetahui yakni manusia dan objek yang diketahui. Hubungan antara subjek pengetahuan dan objek pengetahuan inilah disebut objek pengetahuan. Tetapi manusia indonesia pramoderen lebih mementingkan pengetahuan sepiritual. Dibanding dengan pengetahuan dunia ini. Ada dua tingkat pengetahuan lahi yang lebih penting, yang merupakan pengetahuan sejati, atau nelmu.

Dalam pengetahuan ini subjek manusiaa tetap berjarak dengan objek pengetahuanya. Ada dualisme antara subek dan objek seperti halnya dalam sistem pengetahuan moderen.disinilah pengetahuan dalam diri manusia itu muncul, yakni memaknai realitas yang iterima oleh kesadaranya. Dengan sistem pengetahuan ini manusia mampu memfungsikan realitas diluar dirinya bagi kepentingan hidup provanya. Ilmu pengetahuan dan filsafat padadasarnya tetap berhubungan dengan realitas objektif diluar diri manusia

Hasil ilmu adalah pengetahuan yang pasti.
Minat filsafat indonesia itu bukan realitas obyektif diluar irinya tetapi justru tentang dirinya sebagai subjek-objek. Filsafat indonesia lebih introspektif yaitu mengetahui diri tentang diri subjektifnya, bukan dalam arti filsafat manusia (antropologia) seperti filsafat barat, tetapi sepiritualitas manusianya.Setiap pilsafat dianggap filsafat kalo dapat dibuktikan dalam praktek hidup di dunia ini. Jadi filsafatnya amat fragmatif. Filsafat adalah bukan filsafat bilamana tidakdapat di praktekan dalam kehidupan sepiritual manusia. Tingkat tertinggi pengetahuan adalah adalah pengetahuan kasun niatan(kenyataan) atau pengetahuan kesempurnaan. Inilah pengetahuan tertutup dan terbatas melalui pengetahuan intelektual dan latihan sepiritual yang dipimpin oleh seorang guru. Pengetahuan filsafat indonesia adalah pengetahuan praksis sepiritual. Hampir seluruh ungkapan paradoks indonesia bermakna tingkat pengetahuan ini.

Arti filsafat (indonesia) dari jaman purba hingga sekarang samasaja, yaitu bagaimana manusi dapat menyatu dengan tuhan yang tunggal sekaligus plirell itu (monistik) Setiap filsafat adalah kebenaran begitupula kepercayaan adalah ajaran kebenaran konsep tentang tuhan yang maha esa tidak jelas. Manusia adalah anakalam semesta. Meskipun demikian konsep yangmaha esa purba itu samar-samar tersembunyi masih hidupsebagai arkeologo pikiran. Kalo kategori lelaki menujuk langit, maka oposisinya bumi. Pertemuan menjadi berarti setelah perpisahan. Kesadaran paradoks bukan kesadaran sintetis. Kesadaran paradoks adalah kesadaran tepo seliro, mengembik di kandang kambing,meringkik di kandang kuda, tanpa menjadi kambing dan menjadi kuda tetap manusian. Lelaki paradoks adalah lelaki yang belum kawin atau tidak kawin.

Benda-benda bersifat paradoks ada dimana-mana dan slalu diciptakan manusia. Rumah ada adalah rumah paradoks. Masakan juga bernilai paradoks, anatara asing dan manis, gurih dan pait, segar dan busuk. Semua terlalu berubah dan tidak ada yang tidak tetap orang mengenal identitas benda, manusia, masyarakat, dari hal-hal nampak yng dilakukan atau difungsikanya. Kwantitas hanyalah akibat dari suatu sebab, dan sebab itulah pembentuk identitas nampak. Identitas itu makna dari kwalitas hubungannya. Identitas adalah keselarasan diantara unsur-unsur yang berbeda-beda, yang menciptakan keteraturan dalam sebuah keutuhan. Masalah identitas adalah masalah caraberfikir yang tersembunyi dari begitu banyak tindakan dan karya-karya sebuah entitas

Objek luar adalah segala sesuatu yang asing dari dunia luar, objek dalam adalah segala sesuatu yang asing dari dunuia dalam yang personal. Identitas pola sedikit banyak bekerja secara matematik. Berpikir matematik adalah berpikir analogi atau persamaan-persamaan identitas sunda adalah cara sunda dalam membangun makna melalui sistem hubungan abstraknya yang kuranglebih tetap. Sistem hubunganya adalah pemisahan ruang laki laki dan ruang perempian yangdisatukan oleh ruang tengah yang menyatukan laki laki dan perempuan alat pukul atau tetak dibagian bawah kujang bernilai perempuan sedangkan lawanya adalah alat tusuk dibagian atas yangdapat melukai bernilai lelaki.

Kampung sunda membagikekuasaan dalam oposisi ‘ yang berkuasa ‘’dan ‘’ yang dikuasai’. Kekusaan itu tidak dibiarkan terpisah antara penguasa dan yang dikuasai jadi ada pembagian kekuasaan dalam fungsi masing-masing yang diperlukan dalam kekuasaan yang mengatur ketertiban dan kesejahteraan seluruh kampung yang tiga (atau kelipatanya). Kerajaan-kerajaan sunda berkembang pada jaman hindu jawa, sekitar tahun limaratus sampai 1575 namun bekas bekasnya sudah takada kecuali penuturan dan pantun sunda.

Kawali adalah pabuyutan lembaga air atau resi yang pemiliknya adalah raya-pendeta, pemegang mandat kekuasaan negara sesungguhnya  Identitas yang sesungguhnya bukan berwujud benda-benda atau artefak, tapi cara kerja atau proses benda-benda sunda itu terwujud. Seni moderen indonesia tida berakar dari kebudaraanya, tetapi berakar dari jaman jaman tertentu paham senibarat.

Seni diciptakan bukan demi seni itu sendiri. Seni di abadikan untuk religi dan kebutuhan praktis. Sepiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan keeluruhan yang lebih luas, lebih dalam dan lebih kaya yang meletakan situwasi terbatas saat ini dalam prespektif baru. Kalau manusia moderen mengejar spiritualitas dalam seni, maka seni pra moderen juga sarat spiritualitas. Miskin transandensi hanya pengulngan gambar imanen belaka tidak membawa hidup ini kearah yang lebih kaya, lebih luas, lebih dalam lagi. Pandangan antroposentris menempatkan manusia sebagai realitasnya.

Filsafat indonesia selalu kembali kepada hubungan manusia dengan semesta dan hubungan manusia dengan tuhan, setelah memahami hubungan semesta dengan tuhan. Manusia di struktur oleh alam, dan alam ini ada hubungan dengan tuhan. Perubahan wujud mempengaruhi hubungan struktur, tetapi polanya tetap yang terahir adalah realisasi terus-menerus darai pola dalam suatu struktur yang spesipik meliputi dalam suatu proses dinamis, proses kehiupan. Realitas kesadaran mereka kuat, sedangkan manusia indonesia lebih memihak paa realitas faktual- objektif pengalaman. Laku dan laku itulah ilmu

Memahami wujud suku budaya suku indonesia hanyalah sebatas wujud dapat menyesatkan. Struktur aalah sisi elastis pola, kedudukanya antara berubah dan tidak berubah. Manusia ternyata tidak berdaya kodratnya secara terstruktur oleh alam dan semesta. Manusia pantai hanya mengenal arah terbinya matahari dan tenggelamnya matahari.dan demikian makna pasangan oposisi itu untuk tiap lingkungan budaya juga dapat berbeda-beda. Dunia masyarakat suku adalah duni yang terbatas. Masyarakat suku adalah umat manusia, dan dunianya adalah dunia.

Keris adalah benda pusaka yang mengandung daya-daya gaib. Keris juga terstruktur tiga vertical seperti bangunan candi, bangunan meru, pendopo jawa, dan stupa. Kesabaran, kepasrahan doa, puasa, semedi, laku yoga, merupakan upaya manusia untuk menerima yang karomah itu.

Penontron di sisi dalang adalah penonton yang tidak di undang oleh tuan rumah penanggap wayang, sedangkan penonton dibalik layar adalah penbonton terhormat, yaini para undangan tuanrumah, kluarga, dan para perempuan. Wujud warna-warni wayang adalah symbol plural, sedangkan bayangan wayang berwarna tunggal, yakni hitam. Dunia tengah layar adalah medan chaos dan kosmos. Masing masing seni memberikan kontribusi simboliknya sendiri sendiri yang saling melengkapi untuk membahas hal ini tentu memerlukan ruang tersendiri, pada wayang beber, iringan gamelan juga menggunakan laras salendro, yakni patetsongo saja. Wayang adalah  sarana yang menghadirkan keramat(kaeomah) agar penonton agar mendapatkan berkat barokah. Gunungan atau kayon adalah wujud gunung wayang memang merupakan wujud gunung. Bagian lengkeh adalah medium antara jagat manusia dengan pucuk, jagat besar metakosmos. Pasangan dualistic adalah substansi, dan semua yang tewralangi manusia itu exsistensi. Manusia yang hanya berhenti pada taraf ini adalah manusia tanpa makna. Hidupnya meluluh duniawi ragawi, takdikembangkan aspek rohaninya perguruan perguruan mistisisme amatkeras dalam ajaranya, sehingga pintu selalu tertutup, agar yang tidak berhak tidabisa menguping mencuri ajaran. Jalan dan metode ini amat gawat bagi kesehatan jiwa manusia.manusia tidaboleh salah jalan dengan mempelajarinya secara otididak. Tempat paling  sacral  bangsal kencana adalah’’ pusat mandala’’,yakni titik pusat bangunan persegi bangsal.disitulah adanya raja pertunjukan wayang wongpeendahapa berarti’’ manusia naik ‘’ mewujudkan dunia atas diruang manusia. Inilah sebabnya arah gerak para pemain, dari mulai masuk sampai keluar arena pusat  pendehapa, selalu mengkanankan pusat,axismundi masyarakat jawa disumatra tentu memahami hal ini.segi kesakralan wayang wong  tetap dihormati, yakni dengan tetap memerlukan pentas wayangwong dipusat mandala pendahapa adalah cara manusia ini menyatukan dirinya dengandengan dunia atas secara askatis.

Masyarakat jawa disurakarta tentru memahami hal ini;Kelir pandapa kraton, kelir alun alun, kelir margi, kelir pandahukuhan,Kelir kelir bagian tengah panggung Kelir pandahapa yaitu seting untuk bagian dalam keratin. Kelir keratin guling seting untuk putra-putra raja, kelir taman yakni taman kraton yakni tamat tempat putri raja. Kelir partapan menggambarkan suasana pedesaan. Kelir alas peteng menggambarkan kelebatan dan kehebatan, kelir kali menggambarkan kali sungai besar, kelir guabolong  menggambarkan kelir gua mulut sebuah gua, kelir gua mangkara pintu masuk gua untuk masuk kayangan.kelir kayangan gabungan kelir pendahapa kelir magan singgasana dan dewa, kelir megan , bergambar awan putih bersih. Nium adalah penghadiran dunia tengah, yang menghubungkan dengan dunia atas, wayang menunggu giliuran untuk memasuki wilayah giliran pusat mandala, wayang adalah cara menghadirkan kisah kisah mitos kehidupan manusia.

Estetika paradox
Dasar berpikir pola dua adalah bahwa hidup adalah pemisahan. Hidup itu persaingan, hidupitu konflik, hyidup adalah perang. Manusia itu tidakmungkin bisa hidup sendirian. Religi selalu berhubungan denganmetakosmos, perang , tetapi hidup harus dilakukan seperti itu  karena dengan caraitulah hidup dimungkinkan, realitas ekologis manusia-manusia ini membentuk realitas kesadaran tentang apa kebenaran hidup ini.
Mitos tentang prinsip kematian adalah kehidupan terdapat dalam metologi genesisis manusia asmat yang terkenal artefak-artefak seninya, dunia paradox femuripits adalah antara dunia atas dunia bawah dan antara hulu hulu inilah yangt membuatnya hidup kembali.

Metologi divine trickster ini agak universal yakini tentang yangmaha tinggi hadir di dunia manusia sebagai yang terendah diantara manusia. Dasar pola piker kaum peramu adalah mengambil memetik merebut, membunuh yangsudah adamesanisme adalah budaya peramudan sebagian budaya lading adalahotewntik Indonesia tetapi pada budaya-budaya pertanian adalah, menanam, member menumbuhkan, mengawinkan, mengfharmonikan yang sudah ada.Meseanisme dalam budaya peramudan sebagian budaya lading adalah otentik indonesiatetapi pada budaya-budaya pertanian merupakan masukan dari agama-agama besar.

Manusia itu adalah badan yang bejiwa sekaligus jiwa yang berbadan.Mikrokosmos adalah makrokosmos dan sekaligus metakosmos ( alam tidak Nampak) meskipun perang adalah perang  namun perang merupakan caraatau dalam sebuah cara dalam adegan perang-perangan. Gabungan seni dan kepercayaan etnik adalah gabungan dua disiplin menuju alam sepiritual. Pengalaman seni itu pengalaman religiusdalam seni pramoderen.Orang modern telah kehilangan atau menjauhkan diri dari sepiritual religisnya, symbol seninya adalah symbol konsep. Diluar logika kasualitas manusia , dengan taran orng sakit dapat sembuh. Fungsi symbol adalah keselamatan, karena hanya ada dua kemungkinan hidup, yakni selamat atau celaka. Hulu adalah asal kehidupan, hilir  kematian. Etika masyarakat pramoderen Indonesia adalah etika daya-daya non material.

Pola tiga
Kaum peladang adalah mereka yang hidup dari bercocok tanam padi di lading kering, biasanya di daerah perbukitan. Dunia tengah yang mengandung dua kutub pertentangan, dunia tengah adalah penghubung medium perantara yang menjembatani dua etnis  yang saling bertentangan.

Cikeusik adalah pemegangmandat dunia atas , symbol dunia atas adalah tanah datar, dunia atas minangjuga berasas perempuan, symbol dunia lima adalah limapuluh kota, ibu bertuah adalah pemegang adat  tanah datar, bapak kaya adalah agam, mamak  terhormat limapuluh kota. Mamak, adik, ibu yang lelaki menggantikan peran bapak. Mantra adalah wujud paradok pengesaan.

Mantra adalah wujud pengesaan yakni bahasa yangdi kenal secara budaya, sekaligus tidakdikenal oleh budayanya. Manusia peladang hanya mengenal orientasi arah kosmik yakni hulu dan hilir. Manusia itu pancaran ilahi.

Pohon hayat adalah gejala pemikiran purba Indonesia pentingnya akan perantara yang menghubungkan dunia atas manusia dengan dunia atas rohani.batas adalah maut bagi yang tidak siap untuk melintasinya.Atap adalah symbol dunia atas, berkualitas ketuhanan, oranghidup dilarang meletakan kepala ke araah hilir .  rumah gadang adalah rumah milik perempuan, rumahitu sendiri bermakna perempuan.

Yang menarik adalah ragam hias, itiak pulang patang, atau itik pulang petang yanggambaranya mirip gambar itik kea rah kanan. Struktur perahu pada atap rumah-rumah Indonesia bukan karena mencontoh bentuk perahu. Indonesia pramoderen kayaraya dengan ragam hias, baik pada rumah adat maupun kain tenun. Segi estetiknya terletak pada seniman tenun untukmenciptakan bentuk bentuk symbol yangsudah diakui umum budaya. Fenomena paradox adalah fenomena yang dibutuhkan dalam memecahkan sesuatu persoalan hidup duniawi ini, paradox adalah kembali kepada yang maha esa. Sumber dari segala yang ada.

Kata Kunci: Seni. Filsafat, Resumme