Friday, April 29, 2016

Paham Kekuasaan Sunda Oleh : JAKOB SUMARDJO


Paham Kekuasaan Sunda
Oleh : JAKOB SUMARDJO
KEKUASAAN kurang lebih berarti kemampuan, kesanggupan, kekuatan, kewenangan untuk menentukan. Kekuasaan meliputi wilayah keluarga, kampung, negara, lembaga. Dalam pengertian kebudayaan, wilayah-wilayah kekuasaan tadi menampakkan pola-pola yang sama. Pengaturan kekuasaan dalam keluarga, dalam kampung, dalam kerajaan sama. Itulah pola kekuasaan yang menampakkan dirinya dalam berbagai hasil budaya Sunda. Namun, kebudayaan sebagai cara hidup kelompok itu berubah terus. Apa yang akan diuraikan di sini berdasarkan artefak-artefak budaya yang sudah ada, jadi agak kesejarahan, dalam arti “telah terjadi”.
Sumber dari pemahaman ini berasal dari cerita pantun, perkampungan Sunda, kampung adat, dan silat Sunda. Paham ini tersembunyi di balik yang tampak (tangible), sehingga memerlukan pemecahan simbol-simbolnya. Masyarakat Sunda sendiri dengan tidak disadari berlaku berdasarkan paham Sundanya, sehingga kurang berjarak untuk melihat realitas dirinya. Salah seorang mahasiswa pascasarjana di Bandung yang berasal dari Jawa Timur, pada suatu hari menyatakan pada saya, bahwa dia senang tinggal di Bandung karena orangnya ramah, baik, lembut hati. Masyarakat Sunda itu berkarakter halus, bukan kasar. Kalau harus “kasar”, tetap “halus”. Tidak keras tapi lembut. Tidak agresif tapi “diam”.
Pada dasarnya, sikap hidupnya agak ganda dalam arti positif, yakni paradoksal. Menyatu-memisah, menerima-mempertahankan, asli-berubah, mandiri-tergantung, pemilik-pemakai, tiga tapi satu dan satu tapi tiga. Genealogi dari sikap ini adalah budaya purbanya yang huma atau ladang. Hidup berladang itu menetap-pindah, produktif-konsumtif, bebas-tergantung, terbuka tertutup. Paham kekuasaannya juga berkarakter demikian itu.

Simbol kekuasaan Sunda dengan jelas sekali tergambar pada cerita pantun. Pangeran Pajajaran, misalnya Mundinglaya Dikusumah, ke mana pun pergi selalu diiringi oleh pengawal setianya, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Dalam pengembaraan Pangeran Pajajaran, dia digambarkan “diam dan pasif” tetapi sangat dihormati dan dipatuhi keputusannya. Dalam hal ini Mundinglaya lebih banyak diam, sedangkan yang aktif Gelap Nyawang sebagai pemikir dan pengatur strategi perjalanan (eksekutif) dan Kidang Pananjung sebagai penyelesai persoalan. Namanya juga Kidang Pananjung yang selalu ada paling depan.
Inilah tritangtu Sunda. Pangeran Pajajaran yang memiliki kekuasaan, namun tidak aktif menjalankan kekuasaannya. Ia menyerahkannya kepada Gelap Nyawang untuk bekerja dan Kidang Pananjung yang bertanggung jawab terhadap keselamatan, keamanan, dan kesatuan ketiganya. Ini berbeda dengan cerita wayang Jawa. Arjuna punya tiga pengiring seperti Mundinglaya, namun segala sesuatu dipecahkan sendiri oleh Arjuna. Ketiga pengiringnya hanya bertugas menguatkan dan menghibur majikannya. Arjuna adalah pemilik, pelaksana, dan penjaga dirinya sendiri.

Pola pengaturan kekuasaan semacam itu ternyata juga ada pada pantun Sunda sendiri. Pantun Sunda dimulai dengan tugas raja Pajajaran kepada putranya agar mengembara menemukan sebuah negara. Di negara yang ditemukannya itu ia menetap dan berkuasa dengan cara mengawini putri setempat. Karena kecantikan putri tersebut, banyak raja di sekitarnya yang juga ingin memilikinya. Terjadi perang antara raja-raja perebut putri dengan abang putri tersebut (yang biasanya dipakai sebagai judul lakon pantun). Para raja dapat dibunuh oleh abang putri yang menjadi istri Pangeran Pajajaran. Atas permintaan putri, para raja dihidupkan kembali dan bersumpah mengabdi kepada Pangeran Pajajaran.
Tampak bahwa pemegang mandat kekuasaan, Pangeran Pajajaran, justru diam namun berwibawa. Sedang yang aktif menyelesaikan persoalan negara adalah abang putri atau penguasa setempat. Dan bekas-bekas musuh pangeran akhirnya menjadi pelindung dan penjaga kekuasaan pangeran. Kekuasaan Sunda yang sejati itu adanya di Pakuan Pajajaran. Rajanya tidak beranjak dari kratonnya. Yang bergerak ke luar keraton justru putra-putranya (memperluas wilayah kekuasaan). Dan pada gilirannya, para Pangeran Pajajaran itu juga bersikap seperti ayahanda mereka di Pakuan. Pangeran-pangeran itu pasif di pusat negaranya yang baru. Yang aktif menjalankan kekuasaan justru raja setempat yang sudah menjadi keluarga Pajajaran. Sedangkan para pelindung (para anggota kerajaan) adalah raja-raja asing yang non-Sunda.

Dengan demikian, kekuasaan itu dimiliki-tidak dimiliki karena yang memiliki kekuasaan tidak menjalankan kekuasaan, sedang yang menjalankan kekuasaan tidak memiliki kekuasaan yang dijalankannya. Pihak kekuasaan ketiga adalah mereka yang bertugas menjaga kesatuan dan keamanan serta perlindungan pemilik dan pelaksana kekuasaan. Kekuasaan, dalam paham ini, masuk kategori “perempuan” bukan “lelaki”. Perempuan itu yang memiliki, sedangkan lelaki yang menjalankan kepemilikan itu. Perempuan itu adanya di dalam rumah, bukan di luar rumah. Yang bergerak aktif di luar rumah itu lelaki. Kekuasaan sejati, yakni pemilik kekuasaan atau mandat kekuasaan surga adalah Raja Pajajaran dan putra-putranya yang tersebar di seluruh Jawa Barat.  Sedang yang menjalankan kekuasaan bukan Raja Pajajaran atau putra-putranya di daerah, tetapi penguasa setempat atas nama Pajajaran. Sedangkan para pelindung kekuasaan boleh orang di luar pemilik dan pelaku kekuasaan.

Pola tripartit demikian itu rupanya bersumber pada pola pemerintahan kampung-kampung Sunda. Kampung telah ada terlebih dahulu dari pada lembaga negara yang bernama kerajaan. Dalam kampung-kampung Sunda tua, seperti di Kanekes-Baduy atau di Ciptagelar-Sukabumi selatan, kekuasaan kampung terbagi menjadi pemilik kekuasaan (kampung adat yang paling tua), pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan kampung. Kampung pemilik adat biasaya ada di bagian “dalam” dekat bukit dan hutan kampung, kampung pelaksana kekuasaan ada di tengah, dan kampung penjaga kekuasaan ada di luar. Dalam kampung adat Kanekes, masing-masing lembaga kekuasaan itu dipegang oleh Cikeusik (dalam, tua, adat), kemudian Cikertawana (eksekutif), dan Cibeo (pelindung batas).

Dalam kampung adat yang lebih modern, yakni di Ciptagelar, tripartit itu tetap dijalankan dalam bentuk kampung buhun (pemilik dan penjaga adat buhun Sunda), kampung nagara (pemerintahan modern nasional), dan kampung sarak (kampung yang mengurus kepentingan Islam). Dalam pola pikir ini, adat Sunda diletakkan sebagai pihak “dalam”, “pemilik sejati”, dan Islam berada di “luar” yakni batas wilayah kampung. Pemerintahan nasional ada di tengah. Ternyata pola tripartit yang sama masih berlaku di banyak perkampungan Sunda di Jawa Barat seperti terjadi di Ciptagelar. Kampung Sunda di Darmaraja dekat Situraja, misalnya, membagi kesatuan tiga kampung dalam Kampung Cipaku yang mengurus kabuyutan kampung (Raja Haji Putih), Kampung Paku Alam mengurus pemerintahan nasional-modern (lurah), dan Kampung Karang Pakuan yang letaknya dekat jalan raya Darmaraja, merupakan kampung Islam di mana masjid kampung berada.


Di sinilah sikap terbuka-tertutup, tetap-berubah, menjalankan mekanismenya. Ketegangan budaya sering terjadi antara peran adat dan peran Islam. Sementara satu pihak menekankan adat buhun Sunda sebagai pemilik kekuasaan, di pihak lain Islam sebagai pemilik kekuasaan. Peran pelaku kekuasaan tetap lembaga pemerintahan nasional yang disetujui keduanya. Bagi mereka yang menjunjung tinggi kesundaan bersikap bahwa pemilik adalah Sunda (buhun, adat), sedang bagi yang menjunjung tinggi Islam bersikap “Islam itulah Sunda”, gerakan revivalisme Sunda, saya kira, berdasarkan pikiran siapa yang seharusnya dinilai sebagai “dalam” dan siapa yang dinilai sebagai “luar”. Seperti kita baca dalam kasus pantun Sunda, kategori “luar” itu mengandung arti “asing” juga. Pola tripartit kekuasaan Sunda ini, dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan sikap “tetap” sekaligus “berubah”. Hal ini tampak dari penyebutan ketiga lembaga kekuasaan tersebut. Pada awalnya adalah pemilik kekuasaan, pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan. Lalu di masa kerajaan menjadi sebutan resi, ratu, rama. Resi adalah pemilik kekuasaan yang tak bergerak, ratu adalah pelaksana yang bergerak aktif, dan rama yang merupakan rakyat (kepala kampung) yang menjaga ketertiban kampung masing-masing. Pada zaman perkembangan Islam rupanya menjadi pesantren (dalam), menak (bupati-bupati di Priangan), dan rakyat Sunda di kampung-kampung.

Terjemahannya dalam masyarakat modern Sunda, rupanya pola tripartit ini masih berlaku, yakni sebagai pemilik kekuasaan adalah rakyat Sunda (demokrasi), pelaksana kekuasaan gubernur-bupati, dan penjaga kekuasaan adalah panglima wilayah. Kategorinya; dalam, tengah, luar. Dalam dan tengah adalah Sunda, sedangkan pihak luar boleh asing (mirip para ponggawa dalam carita pantun). Dengan demikian dasar paham kekuasaan Sunda itu lebih maternal dari pada paternal. Lebih mengasuh, rohani, adat, pikiran daripada sekadar memerintah. Sikap ini juga tercermin dalam silat Sunda yang lebih menyimpan kekuatan dari pada menggunakan kekuatan itu. Silat Sunda itu bageakeun baik untuk dirinya maupun “musuhnya”. Diri sendiri selamat dan yang menyerangnya juga selamat. Yang pertama dilakukan adalah gerak menghindar sekaligus disertai gerak menyerang. Bukan untuk mematikan, tetapi untuk membuat lawan tidak berdaya lagi. Inilah sebabnya pawang pembetul tulang banyak terdapat di kampung-kampung Sunda. Jadi, sikap terhadap kekuatan lebih menyimpan, defensif, daripada menggunakannya dan agresif.
Kata Kunci: Tritangtu, Sunda

SEJARAH SITUS Penulis: Pustakawan Madya ISBI Bandung

SEJARAH SITUS
Penulis: Pustakawan Madya ISBI Bandung


 Zaman Prasejarah
Zaman Prasejarah, atau sering juga disebut nirleka (nir: tidak ada, leka: tulisan), adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada masa di mana catatan atau tulisan belum ada. Dengan demikian, batas antara zaman prasejarah dengan zaman sejarah adalah mulai adanya tulisan. Berakhirnya zaman prasejarah atau  dimulainya  zaman  sejarah  untuk  setiap  bangsa  di  dunia  tidak  sama, tergantung dari peradaban bangsa yang bersangkutan. Zaman   prasejarah   di   Indonesia   diperkirakan   berakhir   pada   waktu berdirinya  Kerajaan  Kutai,  sekitar  abad  ke-5.  Berdirinya  kerajaan  tersebut dibuktikan  oleh  keterangan  dalam  prasasti  pada  batu  berbentuk  yupa  yang ditemukan di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Mengenai kehidupan zaman prasejarah di Jatigede khususnya dan di Sumedang umumnya belum diungkap secara tuntas. Namun demikian, upaya-
upaya ke arah itu sudah dimulai. Bulan Mei 2007 Balai Arkeologi Bandung mengadakan penelitian di daerah Sumedang, tepatnya di Desa Jembarwangi dan
sekitarnya dan di Kecamatan Tomo. Penelitian difokuskan pada penemuan fosil fauna dan vertebrata.


Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan jenisnya, gigi dan tulang fauna itu berasal dari kelompok hewan gajah purba (Stegodon sp), Cervus sp, dan
Bovidae sp. Fragmen fosil yang berasal dari Stegodon sp antara lain terdiri dari bagian gigi, bonggol sendi tulang kering sebelah atas, dan potongan tulang paha.
Kelompok Cervus sp terdiri dari bagian rahang dengan sederetan gigi; kelompok Bovidae sp terdiri dari beberapa fosil gigi. Temuan itu umumnya merupakan
temuan permukaan di kawasan perbukitan Pasir Melati, terutama di kawasan Blok Gegermaja yang langsung berbatasan dengan aliran Sungai Cisaar dan Blok
Reunependeu yang terletak lebih kurang 500 meter di sebelah utara Balai Desa Jembarwangi.

Secara astronomis daerah temuan fosil vertebrata itu merupakan kawasan perbukitan  bergelombang  rendah (pasir)  yang  terletak  berbatasan  dengan
Kabupaten  Majalengka,  berada  pada  ketinggian  antara 100-300  meter  dpl. Kawasan ini dibelah oleh aliran Sungai Cisaar, anak aliran Sungai Cimanuk yang bermuara ke pantai utara Jawa. Hal itu berarti, setidaknya daerah yang kemudian bernama Sumedang merupakan bagian dari peristiwa migrasi fauna purba dari daratan Asia menuju kepulauan Indonesia, khususnya Pulau Jawa bagian barat pada zaman prasejarah.

Selain temuan fosil fauna purba, di daerah Sumedang juga ditemukan peralatan batu sebelum zaman megalitikum dan peninggalan zaman megalitikum.
Situs-situs megalitik ditemukan di sebagian besar wilayah Sumedang, seperti Darmaraja, Jatigede, Wado, Gunung Tampomas, Gunung Lingga, dan lain-lain.
Situs-situs tersebut digunakan kembali pada zaman sejarah hingga kurun waktu zaman Islam, bahkan hingga sekarang. Situs demikian dalam istilah arkeologi disebut situs berlanjut (multi component site).

Pada zaman megalitikum, kegiatan bercocok tanam makin berkembang. Kegiatan bercocok tanam pada zaman prasejarah di Indonesia dimulai kira-kira
bersamaan dengan berkembangnya kemahiran mengupam (mengasah) alat-alat batu, serta mulai dikenalnya teknik pembuatan gerabah. Kemahiran bercocok
tanam lahir dari usaha manusia prasejarah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta  mengembangkan  penghidupan  baru.  Dengan  bercocok  tanam  berarti
masyarakat sudah hidup menetap dan besar kemungkinan melakukan penjinakan hewan-hewan tertentu sebagai binatang ternak. Dalam taraf kehidupan demikian,
seyogyanya  berbagai  sendi  kehidupan  lain  akan  berubah  sejalan  dengan kesejahteraan yang dicapai. Pada masyarakat tingkat sederhana, perubahan yang
terjadi adalah pertambahan jumlah anggota keluarga karena faktor kelahiran, yang pada akhirnya berdampak pada jumlah anggota masyarakat. Hal itu berdampak
pula pada perambahan hutan untuk membuka lahan pertanian dan pemukiman,pembangunan perumahan dalam tingkat sederhana, dan lain-lain.

Dalam kehidupan religius, berkembang sebuah tradisi  yang memiliki corak dan sifat khusus, yaitu tradisi megalitik sebagai media penghormatan
terdapap arwah leluhur. Pada zaman itu muncul tradisi penggunaan batu besar.Boleh jadi  penggunaan batu besar itu bukan untuk pemenuhan kebutuhan
jasmaniah (peralatan praktis), melainkan untuk pemenuhan kebutuhan rohaniah.Sebagian besar dari material yang digunakan hampir tidak mendapat pengerjaan,
kalaupun ada terkesan hanya dilakukan seperlunya untuk mendapatkan bentuk yang diinginkan, seperti meratakan permukaan atau menggoreskan garis-garis motif yang diinginkan.

Dasar kehidupan religi pada zaman megalitik adalah sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati. Masyarakat pada waktu itu percaya bahwa roh seseorang
tidak lenyap pada saat orang meninggal, melainkan tetap hidup dan memiliki kelanjutan kehidupan dalam wujud-wujud rokhaniahnya, sehingga roh-roh leluhur
itu dianggap sangat mempengaruhi jalan kehidupan keturunannya di dunia. Sebagai penghormatan terhadap dan sarana komunikasi dengan arwah leluhur, dibuatkan media untuk menempatkan roh para leluhur pada tataran lebih tinggi. Media itu juga bermakna untuk lebih mendekatkan jarak antara puncak gunung sebagai ”dunia atas” dengan ”dunia bawah” tempat para anak cucu. Hampir semua media tempat penghormatan dan komunikasi itu ditempatkan pada bangunan  berupa  undakan  atau  undak-undakan,  sehingga  muncul  sebutan bangunan atau punden berundak yang teras-terasnya bersusun kian ke atas kian mengecil, seperti piramid. Bentuk itu dimaksudkan sebagai replika dari bentuk gunung, karena pada zaman itu gunung dianggap sebagai alam arwah yang abadi, sehingga gunung dianggap sebagai tempat suci.

Selain bangunan berundak, karya lain tradisi megalitik adalah berupa dolmen, peti kubur batu, bilik batu, sarkofagus, kalamba (bejana batu) waruga, watu (batu) kandang dan temu gelang. Di tempat itu biasanya dihadirkan juga beberapa batu besar sebagai pelengkap atau media pemujaan nenek moyang, seperti menhir, patung nenek moyang, batu saji, batu lumpang, batu lesung, batu dakon, pelinggih batu, atau tembok batu. Sebagian dari situasi dan kondisi tersebut diduga terjadi pula di daerah Sumedang. Namun sampai saat ini, hasil penelitian arkeologi prasejarah di daerah Sumedang didominasi oleh temuan tradisi megalitik.

Berdasarkan  hasil  penelitian  arkeologi,  terungkap  bahwa  pada  masa sebelum tradisi megalitik berlangsung, manusia prasejarah di kawasan tengah
Jawa Barat pada waktu itu cenderung menempati kawasan sisi timur Danau Bandung  Purba.  Hal  itu  didukung  oleh  adanya  situs-situs  prasejarah  yang
ditemukan di kawasan itu, yang berdekatan atau berbatasan dengan Sumedang pada saat ini. Di antara temuan itu adalah temuan obsidian, dan temuan lainnya
hasil tinggalan dari masa mesolitik dan neolitik, seperti situs-situs yang terletak dalam kawasan Gunung Manglayang, Cibiru Wetan, dan Cileunyi pada saat ini.
Hal  itu  tidak  menutup  kemungkinan  bahwa  pada  masa  sebelumnya,  ketika kawasan   Danau   Bandung   Purba   masih   berfungsi,   masyarakat   prasejarah
cenderung mencari lahan-lahan dekat air sebagai salah satu sumber kehidupan mereka. Baru pada masa sesudahnya, sejalan dengan kebutuhan lahan untuk
tempat tinggal karena bertambahnya populasi penduduk, masyarakat itu membuka lahan ke lahan terdekat, yaitu kawasan Sumedang. Bila dugaan itu mendekati
kebenaran, mungkin sejak itulah di daerah Sumedang berlangsung kehidupan manusia prasejarah.

Zaman Kerajaan
Selepas masa prasejarah, Sumedang memasuki masa sejarah. Namun sampai saat ini belum diketahui secara pasti, kapan tepatnya Sumedang mulai
masuk  ke  zaman  sejarah.  Sumber  tradisional  menyebutkan,  bahwa  zaman kesejarahan  Sumedang  dimulai  oleh  berdirinya  Kerajaan  Tembong  Agung
(Tembong  artinya  nampak  dan  Agung  artinya  luhur).  Namun,  satu  sumber menyatakan kerajaan itu berdiri pada tahun 9008 dengan ibukota kerajaan terletak
di  Kampung  Muhara,  Desa  Leuwihideung (sekarang  termasuk  Kecamatan Darmaraja).9 Raja pertama yang memerintah kerajaan itu adalah Prabu Guru Aji Putih. Sumber lain menyebutkan bahwa Prabu Guru Aji Putih naik tahta kira-kira tahun 1500, sehingga ia disejajarkan dengan masa pemerintahan Raja Sunda, Sri Baduga Maharaja atau Ratu Jayadewata yang berkuasa pada tahun 1482 - 1521. Menurut Bayu Suryaningrat, berdasarkan Carita Parahyangan, Prabu Guru Aji Putih adalah saudara Prabu Sri Baduga Maharaja.10

Masih menurut sumber tradisional, Prabu Aji Putih menikah dengan Dewi Ratna Inten, dikenal juga dengan sebutan Dewi Nawang Wulan. Ia adalah putri
Jagat Jayanata, keponakan Purbasora atau cucu Resi Demunawan dari permaisuri Saribanon Kencana. Perkawinan Prabu Aji Putih dengan Dewi Nawang Wulan
melahirkan beberapa anak, yaitu Bratakusumah, Sokawayana, Harisdarma dan Langlangbuawa.11

Disebutkan dalam cerita rakyat, bahwa ketika Bratakusumah menginjak usia dewasa, ia pergi berguru ke berbagai tempat. Terakhir ia pergi bertapa ke
Gunung Nurmala. Pada saat itulah ia berucap „insun medal, insun madangan”. Artinya “aku dilahirkan, aku menerangi”. Konon, kata “Sumedang” diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang, yang selanjutnya  menjadi  Sumedang.  Ada  juga  pendapat,  bahwa  kata  Sumedang berasal dari kata Insun Medal.

Setelah  kembali  dari  pertapaan,  Bratakusumah  diangkat  menjadi  raja menggantikan ayahnya. Sejak saat itu Bratakusumah berganti nama menjadi Prabu  Agung  Resi  Cakrabuana   yang  lebih  dikenal  dengan  nama  Prabu Tajimalela.13   Begitu   juga   kerajaannya   berganti   nama   menjadi   Kerajaan Sumedanglarang.14 Pusat pemerintahannya terletak di Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja sekarang. Versi lain menyebutkan bahwa Kerajaan Tembong Agung berganti nama menjadi Kerajaan Himbar Buana.15

Setelah Prabu Tajimalela menjadi raja, kemudian ia mengangkat saudara-saudaranya menjadi patinggi (penguasa) di beberapa daerah. Sokawayana menjadi patinggi di daerah sekitar Gunung Tampomas. Harisdarma menjadi patinggi di sekitar wilayah Gunung Haruman. Langlangbuana menjadi patinggi di wilayah Lemah Putih, namun tidak lama karena ia kemudian mengabdi ke Kerajaan Galuh.

Prabu Tajimalela memiliki tiga orang putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.17 Berdasarkan sumber tradisional
berjudul Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela berniat untuk mengangkat dua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), masing-masing menjadi
raja dan menjadi wakilnya (patih). Akan tetapi keduanya tidak bersedia. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya dan jika kalah
harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah
pedang dan buah kelapa muda (duwegan/degan). Akan tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan, ia membelah dan meminum air kelapa muda tersebut.

Oleh karena ia dinyatakan kalah (tidak lulus ujian), sehingga harus menjadi raja Kerajaan  Sumedanglarang,  tetapi  wilayah  ibu  kota  harus  mencari  sendiri.
Sementara itu, Prabu Lembu Agung yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji, tetap di Leuwihideung, dan diangkat menjadi raja untuk sekedar memenuhi
wasiat   Prabu   Tajimalela.   Setelah   Prabu   Tajimalela   meninggal,   Kerajaan Sumedanglarang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung, sedangkan Prabu Lembu
Agung menjadi resi. Sumber tradisional tersebut juga menyatakan bahwa Sunan Geusan Ulun memiliki keturunan yang tersebar di Limbangan, Karawang, dan
Brebes.

Sumber lain menyebutkan bahwa Prabu Tajimalela mempunyai putra kembar, yaitu Prabu Lembu Agung (disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji) dan Prabu  Gajah  Agung.  Setelah  Prabu  Tajimalela  meninggal  dunia,  kerajaan Sumedanglarang dipimpin oleh Prabu Lembu Agung atau Prabu Lembu Peteng Aji.  Setelah  Prabu  Lembu  Agung  menjadi  resi,  Kerajaan  Sumedanglarang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung. Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja, ia memindahkan ibu kota
kerajaan  dari  Leuwihideung  ke  Ciguling,  Desa  Pasanggrahan (Kecamatan Sumedang Selatan). Dahulu tempat ini bernama Kampung Gegersunten. Dengan dijadikannya ibukota kerajaan, daerah itu berubah menjadi ramai. Setelah menjadi raja Prabu Gajah Agung terkenal dengan nama Prabu Pagulingan.19 Ia memiliki dua orang anak, yaitu Ratu Istri Rajamantri dan Sunan Guling.

Prabu Gajah Agung meninggal dan dimakamkan di Cicanting (sekarang Desa  Sukamenak,  Kecamatan  Darmaraja.  Sepeninggal  Prabu  Gajah  Agung, kerajaan dipimpin oleh Sunan Guling. Adapun kakaknya, Ratu Istri Rajamantri, menjadi permaisuri raja Pajajaran. Sunan  Guling  meninggal  dan  dimakamkan  di  Heubeul  Isuk,  Desa Cinanggerang,  Kecamatan  Sumedang  Selatan.  Pemerintahan  diganti  oleh anaknya, Sunan Tuakan. Setelah wafat ia dimakamkan di Heubeul Isuk, Desa Cinanggerang, Kecamatan Sumedang Selatan. Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya bernama Nyi Mas Ratu Patuakan. Ia mempunyai suami Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Ratu Dewata.

Dari perkawinannya Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata. Setelah ibunya meninggal, ia menjadi ratu
dengan gelar Ratu Pucuk Umun (1530-1578). Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra
Aria Damar, Sultan Palembang, keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas  Ranggawulung,  keturunan  Sunan  Gunung  Jati  dari  Cirebon.  Pangeran
Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri, karena ia pernah hidup di pesantren, sehingga perilakunya yang sangat alim. Pernikahan ratu
Sumedanglarang   dengan   Pangeran   Santri   keturunan   Sunan   Gunung   Jati, mengakhiri zaman kerajaan Hindu di Sumedanglarang. Sejak itul agama Islam
menyebar di wilayah Sumedanglarang.

Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedanglarang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan
raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah dinikahi Pangeran  Santri (1505-1579  M)  yang  bergelar  Ki  Gedeng  Sumedang  dan
memerintah Sumedanglarang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut.

Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri dari Cirebon. Ia adalah seorang pangeran yang sekaligus juga seorang ulama. Nama asli Pangeran
Santri adalah Pangeran Kusumadinata. Pernikahan Nyi Mas Ratu Inten Dewata (Ratu Pucuk Umun) dengan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Santri) dianggap sebagai berakhirnya masa Hindu di Sumedang dan mulai tersebarnya agama Islam.  Pada  masa  itu  ibu  kota  kerajaan  Sumedanglarang  dipindahkan  dari
Ciguling ke Kutamaya. Pemindahan ibu kota kerajaan ini terjadi kira-kira pada tahun 1530. Pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri membuahkan enam putera, yaitu:
1.  Raden Angkawijaya (kemudian bergelar Prabu Geusan Ulun)
2.  Kiayi Rangga Haji
3.  Kiayi Demang Watang
4.  Santowaan Wirakusumah
5.  Santowaan Cikeruh
6.  Santowaan Awiluar.

Setelah Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri wafat (diperkirakan tahun 1579) yang menjadi raja selanjutnya adalah anaknya yang sulung bernama Raden Angkawijaya. Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri sendiri dimakamkan di Makam Pasarean Gede, di pusat kota Sumedang sekarang. Setelah dinobatkan menjadi raja, Raden Angkawijaya mendapat gelar Prabu Geusan Ulun yang memerintah Sumedanglarang tahun 1579-1601.

Berdasarkan   sumber-sumber   tradisional   dan   cerita   turun-temurun, sebagian warga masyarakat, khususnya masyarakat Sumedang, meyakini bahwa
di  daerah  Sumedang  pernah  berlangsung  pemerintahan  Kerajaan  Tembong Agung. Kepercayaan masyarakat akan hal tersebut, dalam ilmu sejarah disebut accepted history (“sejarah” yang diterima oleh masyarakat/umum). Namun, bagi kebenaran sejarah, hal itu menjadi tantangan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut secara seksama. Menurut beberapa sumber akurat mengenai zaman kerajaan di Tatar Sunda (Jawa   Barat),   setelah   Kerajaan   Sunda/Pajajaran   runtuh   tahun 1579/1580,
kemudian muncul Kerajaan Sumedanglarang, dengan raja pertama Prabu Geusan Ulun, dengan permaisuri Nyi Mas Gedeng Waru (Putra Sunan Pada). Dari
permaisuri, Prabu Geusan Ulun memiliki 14 anak, yaitu: Pangeran Rangga Gede, Rd. Arya Wirareja, Kiai Rangga Gede, Kiai Patrakelasa, Ngabehi Watang, Arya
Rg. Pati Haur Kuning, Nyi Demang Cipaku, Nyi Mas Ngabehi Martayuda, Nyimas Rg. Wiratama, Rd. Rg. Nitinagara, Nyi Mas Rg. Pamande, Nyi Mas
Dipati Ukur, Pangeran Dipati Kusumahdi Nata, dan Tumenggung Tegal Kalong.Menurut sumber akurat, Prabu Geusan Ulun memerintah tahun 1580-1608.22 Semula ibu kota kerajaan Sumedanglarang berlokasi di Ciguling. Namun beberapa waktu kemudian dipindahkan ke Kutamaya.

Luas  wilayah  kerajaan  Sumedanglarang  adalah  seluas  bekas  wilayah Kerajaan Pajajaran, yaitu seluruh wilayah Jawa Barat minus Banten, Jayakarta
dan Cirebon. Daerah-daerah yang ketika Kerajaan Pajajaran melemah -- akibat peperangan dengan Banten -- berusaha melepaskan kesetiannya, ditaklukkan oleh pasukan  Prabu  Geusan  Ulun.  Daerah-daerah  itu  adalah  Karawang,  Ciasem, Pamanukan dan Indramayu.Munculnya Kerajaan Sumedanglarang merupakan penerus atau pewaris  Kerajaan Pajajaran. Klaim Kerajaan Sumedanglarang sebagai pewaris kebesaran Kerajaan Pajajaran dijelaskan oleh sumber tradisi. Dalam Babad Sumedang, disebutkan, bahwa menjelang keruntuhan Kerajaan Pajajaran, empat kandaga lante Pajajaran diperintah oleh Raja Pajajaran, Raga Mulya Surya Kencana, untuk menyerahkan   barang-barang   pusaka   Kerajaan   Pajajaran   berupa   Mahkota Binokasih Sang Hyang Pake Siger dan perlengkapannya kepada Prabu Geusan
Ulun. Mahkota mas ini merupakan simbol penting kerajaan. Empat kandaga lante itu adalah:
1.   Sang Hiang Hawu (Embah Jayaperkasa)
2.   Batara Dipati Wiradijaya (Embah Nangganan)
3.   Sang Hiang Kondang Hapa
4.   Batara Pancar Buana (Embah Terong Peot).

Empat   kandaga   lante   ini   tidak   kembali   ke   Pajajaran,   tapi   terus mengabdikan diri kepada Prabu Geusan Ulun. Masih menurut sumber tradisi,
keempat  kandaga  lante  itu,  sejatinya  adalah  orang  Sumedanglarang  yang mengabdikan diri di Kerajaan Pajajaran. Dengan demikian, kembalinya mereka ke
Sumedanglarang  termasuk  ke  dalam  ungkapan „kebo  mulih  pakandangan“, pulang ke kampung halaman sendiri. Empat kandaga lante tersebut kemudian menjadi punakawan setia Prabu Geusan Ulun, sekaligus menjadi pihak yang sering dimintai pertimbangan dalam membuat keputusan-keputusan.

Pada masa pemerintahan Geusan Ulun terjadi sebuah peristiwa penting yang melekat dalam memori kolektif masyarakat. Peristiwa itu antara lain konflik antara Sumedanglarang dengan Cirebon. Konflik itu terjadi akibat hubungan asmara antara Prabu Geusan Ulun dengan Ratu Harisbaya istri selir Sultan Cirebon. Hubungan asmara anatara kedua orang itu terjadi ketika Prabu Geusan Ulun sedang memperdalam ilmu agama Islam. Di sela-sela kesibukan memeritah kerajaan, Prabu Geusan Ulun masih menyempatkan diri untuk memperdalam ilmu keagamaan. Berangkatlah ia ke tempat yang menjadi pusat penyebaran agama Islam. Dalam hal ini terdapat dua versi ceritera mengenai tempat di mana Prabu Geusan Ulun memperdalam ilmu. Versi pertama menyebutkan ia memperdalam agama Islam di Demak.

Dalam perjalanan pulang ke Sumedanglarang ia mampir ke Keraton Cirebon.26 Waktu itu Kesultanan Cirebon berada di bawah kekuasaan Panembahan Ratu alias
Pangeran Girilaya (1570-1649). Versi kedua menyatakan bahwa untuk tujuan memperdalam ilmu agama Islam, Prabu Geusan Ulun pergi ke Cirebon.27 Kiranya  versi  kedua  lebih  dapat  diterima.  Pertama,  secara  geografis Cirebon letaknya lebih dekat dengan Sumedanglarang. Kedekatan jarak kedua
tempat   itu   memungkinkan   Prabu   Geusan   Ulun   untuk   dapat   mengontrol kerajaannya. Kedua, saat itu Cirebon adalah pusat penyebaran Islam yang tidak
kalah pamornya jika dibandingkan dengan Demak. Ketiga, Prabu Geusan Ulun masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Cirebon, karena ia adalah putra Pangeran Santri, cicit Sunan Gunung Jati. Maksud Prabu Geusan Ulun datang ke Cirebon untuk mendalami ilmu agama tidak berjalan lancar. Saat Prabu Geusan Ulun berada di lingkungan keraton Cirebon, Pakungwati, terjadi affair antara ia dengan Ratu Harisbaya29 isteri selir Pangeran Girilaya.

Ringkas cerita, ketika Prabu Geusan Ulun kembali ke Sumedanglarang, Ratu Harisbaya pun kabur dari keraton untuk menyusulnya30, padahal waktu itu
Ratu Harisbaya sedang mengandung anak dari Pangeran Girilaya. Kejadian ini memicu konflik antara Kesultanan Cirebon dengan Kerajaan Sumedanglarang. Pangeran Girilaya mengirim pasukan ke Sumedanglarang untuk membawa pulang Ratu Harisbaya. Para kandaga lante Sumedanglarang sudah memprediksi akan
datangnya  pasukan  Cirebon  menyusul  Ratu  Harisbaya.  Para  kandaga  lante menunggu (Sunda: ngadagoan) kedatangan pasukan Cirebon di perkampungan
yang kemudian dikenal dengan nama kampung Dago Jawa.Para kandaga lante berhasil menghalau pasukan Cirebon. Sementara itu, Pangeran Geusn Ulun dan Ratu   Harisbaya   meneruskan perjalanan   menuju   ibu   kota   Kerajaan Sumedanglarang, Kutamaya. Di pihak Sumedanglarang timbul kekhawatiran akan datangnya serangan pasukan   Cirebon.   Untuk   mengantisipasinya,   Embah   Jaya   Perkasa   dan pasukannya, dengan seizin Prabu Geusan Ulun, menjaga daerah perbatasan. Menurut cerita tradisi, sebelum Embah Jayaperkasa berangkat, ia terlebih dahulu menanam pohon hanjuang di sudut alun-alun Kutamaya. Penanaman pohon itu dimaksudkan  sebagai  isyarat.  Jika  pohon  itu  tumbuh  subur,  berarti Embah Jayaperkasa memenangkan pertempuran. Sebaliknya, jika pohon itu mati berarti
ia kalah dan gugur.

Sementara  Embah  Jayaperkasa  beserta  pasukannya  berada  di  batas kerajaan, di keraton Kutamaya muncul pemikiran untuk memindahkan ibu kota kerajaan ke tempat lain yang jauh dari jangkauan pasukan Cirebon. Pemikiran itu didasarkan atas kekhawatiran, jika Embah Jayaperkasa kalah dalam pertempuran, Kutamaya akan menjadi sasaran serangan pasukan Cirebon. Tanpa memperhatikan isyarat dari Embah Jayaperkasa, ibu kota kerajaan pindah ke suatu tempat di kawasan Gunung Rengganis. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Dayeuh Luhur. Sebagian penduduk Kutamaya pun turut pindah mengikuti raja dan aparat kerajaan.

Disebutkan   dalam   sumber   tradisi,   bahwa   Embah   Jayaperkasa memenangkan pertempuran, kemudian ia dan pasukannya kembali ke Kutamaya.
Setibanya di Kutamaya, betapa kagetnya dia, karena didapatkan ibu kota itu sudah kosong. Sementara, pohon hanjuang yang ditanam di sudut alun-alun, tumbuh dengan subur. Setelah diperoleh informasi bahwa ibu kota kerajaan sudah pindah ke Gunung Rengganis, berangkatlah Embah Jaya Perkasa ke sana. Kesedihan Embah Jayaperkasa semakin bertambah, karena didapatkan Prabu Geusan Ulun beserta   ketiga   kandaga   lante   sedang   membicarakan   tewasnya   Embah Jayaperkasa.32 Kecewa atas kejadian itu Embah Jayaperkasa pergi meninggalkan keraton menuju suatu kabuyutan (semacam tempat semedi) dan selanjutnya ia
„ngahiyang“ (menghilang).33

Mengenai konflik antara Sumedanglarang dengan Cirebon, saran Sultan Mataram,34 akhirnya diselesaikan dengan cara damai. Sultan Cirebon
Pangeran Girilaya bersedia menjatuhkan talak kepada Ratu Hasibaya, dengan syarat Prabu Geusan Ulun harus memberikn tebusannya (kompensasi). Prabu
Geusan Ulun memberikan wilayah Sindangkasih (sekarang Majalengka) kepada Sultan Cirebon sebagai kompensasi. Setelah itu, berarti Ratu Harisbaya resmi
menjadi istri kedua Prabu Geusan Ulun, dan hubungan Sumedanglarang dengan Cirebon baik kembali.

Lubis, Nina Herlina, et al. 2004.
Laporan Penelitian Dokumentasi Situs-Situs, Mitos-Mitos dan Tradisi Lisan  di  Jatigede.  Bandung:  Pusat  Penelitian  Kemasyarakatan  dan Kebudayaan. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.

Saringendyanti, Etty. Masa Prasejarah Hingga Masa Hindu Budha (naskah belum diterbitkan), -------. 1996.

Penempatan Situs Upacara Masa Hindu Budha: Tinjauan Lingkungan Fisik Kabuyutan di Jawa Barat. Tesis Magister Arkeologi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

RUANG DALAM SENI Penulis: Pustakawan Madya ISBI Bandung

RUANG DALAM SENI
Penulis: Pustakawan Madya ISBI Bandung

A. Pengertian
Seni mencakup pengertian yang sangat luas, masing – masing defenisi memiliki tolok ukur yang berbeda, defenisi yang dikemukakan cenderung menitikberatkan pada sisi teoritir dan filosofi;

Herbert Read dalam bukunya yang berjudul The mean ing of art , menyebutkan bahwa karya seni merupakan usaha manusia untuk menciptakan bentuk bentuk yang menyenangkan.

Suzanne K Langer dalam  bukunya         Principles  of  art oleh Collingwood ( 1974 ) , mengatakan seni merupakan symbol dari perasaan, seni merupakan kreasi bentuk simbolis dari perasaan manusia.

Masih banyak kiranya definisi seni yang lain, sebanyak manusia dimuka bumi ini . Hal ini karena seni merupakan kebutuhan manusia dan merupakan hubungan manusia dan merupakan hubungan yang tak terpisahkan antara manusia, seni, dan lingkungannya.

Subject matter ialah rangsang cipta dalam usahanya untuk menciptakan bentuk bentuk yang menyenangkan . Bentuk menyenangkan adalah bentuk yang dapat memberikan konsumsi batin manusia secara utuh, dan perasaan keindahan kita dapat mendapat harmoni , bentuk yang disajikan serta mampu merasakan lewat sensitivitasnya . Subject Matter sebagai stimulus atau rangsangan yang ditimbulkan oleh objeck. Dalam sebuah karya seni hampir dapat dipastikan adanya subject matter, yaitu inti atau pokok persoalan yang dihasilkan sebagai akibat adanya pengolahan objeck ( baik objeck alam atau objeck image ) yang terjadi dalam ide seorang seniman dengan pengalaman pribadinya.


B. Ruang Tempat Penyajian

Perbatasan karya seni adalah sasaran akhir dan bukan titik pijak , tetapi kita perlu menentukan medan yang harus kita lakukan terhadap hasil pengamatan sementara sebelum menemukan batasan yang mapan . Dikatakan oleh De Witt H Parker  pembatasan tentang seni dan menggangapnya sebagai ekspresi suatu ungkapan . Ungkapan dapat kita lukiskan sebagai pernyataan suatu maksud perasaan atau pikiran dengan suatu medium. Lukisan atau patung adalah ungkapan , sebab merupakan perwujudan dalam warna yang bentuk bentuk ruang tentang gagasan seniman penciptanya mengenai manusia dan alam yang Nampak ( De witt Parker, 1946:13 ).

Suzana K Langer dalam makalah kritiknya, menyatakan bahwa ada hubungan diantara semua seni, terjadinya perbedaan diantara semua seni, terjadinya perbedaan diantara semua seni itu sebenarnya hanyalah perbedaan fisik karena adanya perbedaan medium dan material yang digunakan. Mengenai hal itu mengatakan demikian :

The Interrelation among all the art painting, sculpture and architecture,music, poetry,fiction, dance, and film, and any order you may admit have become a venerable old topic in aesthetics. It has lately become acceptable again to assert that all the arts are really just one “ art “ with a capital A; that the apparen tdifferences between painting and poetry, for istance are superficial due only to the diference of their materials. One artist paints with pigment . The order with word or one speaks in rhyme, and one in images and so forth ( hall, 1981:22 )

Perbedaan di antara semua seni; seni lukis, patung, arsitektur, musik, tari, puisi, piksi, film , kriya dan lain sebagainya mempunyai masalah yang sama di dalam estetika, adapun terjadinya perbedaan diantara seni hanyalah secara fisik, karena penggunaannya material yang berbeda. Perbedaan material yang terjadi di dalam proses cipta seni dalam mewadahi ungkapan perasaan sang seniman , maka terjadi cabang – cabang seni.


Medium merupakan sarana yang dipergunakan untuk menunjang terbentuknya sebuah karya seni. Medium tersebut nantinya merupakan susunan atau konfigurasi dari unsur penciptaan karya seni.

C. Ruang Daya Cipta

Secara indrawi seni dapat dibedakan menjadi beberapa cabang seni, seni visual menunjukan pada suatu keberadaan yang pasti dan sangat tergantung dari indra penglihatan. Jika dibandingkan dengan seni audio, walaupun sama – sama terikat ruang dan waktu seni audio lebih labil. Seni visual dibedakan menjadi dua jenis yakni :
1. Trimatra
2. Dwi Matra

Seni audio tergantung pada alat pendengaran , seni audio visual menunjukan adanya sifat sifat dalam jenis karya seni yang dapat dirasakan dengan dua indera , yaitu penglihatan dan pendengaran, termasuk dalam hal ini jenis cabang seni pertunjukan . Penghayat ataupun penonton akan terlibat dalam proses hayati lewat indera Penglihatan sekaligus pendengaran.

Seniman, Karya seni, dan penghayat merupakan tiga komponen utama pendukung kehidupan seni. Tidak satupun komponen tersebut dapat diabaikan keberadaannya. Karena kesatuannya yang dinamis memungkinkan seni hidup dan berkembang dalam masyarakat.Ketiganya saling interaksi yang dinamis dan kreatif, maka seni hidup dan berkembang dengan prosesnya yang kreatif , maka seni hidup berkembang dengan prosesnya yang kreatif dan dinamis pula ( HB .Sutopo;1991 )
Pementasan / Penyajian / Pameran seni merupakan salah satu bentuk aktivitas yang memungkinkan terjadinya interaksi tiga komponen tersebut dalam menembus keterbatasan. Pentas /pameran merupakan rekayasa yang dirancang bagi penghayatseni secara lebih luasdan efektif. Ia seharusnya menemukan maknanya yang hakiki, yang dirasakan baik oleh seniman maupun penghayatnya.

Pentas / pameran diharapkan menjadi ajang dialog yang kreatif antara nilai nilai artistic dengan nila nilai estetikanya, yang keduanya bertemu dalam konteks perpaduan yang diwarnai beragam maknanya yang sangat manusiawi dan demokratis. Sebuah dialog seni yang demokratis yang dilandasi ragam kehidupan batiniah yang berbeda yang mampu menciptakan makna yang tak perlu seragam, namun memungkinkan hadirnya suatu kepuasan yang sama yaitu kepuasan pengalaman emosional, disertai dengan maknanya yang mendalam , yang sanggup mempercayai kehidupan batiniah yang akan bermanfaat didalam mewarnai perjalanan hidup manusia secara utuh ( HB Sutopo;1991 ).

(1). Tingkatan pengamatan terhadap kualitas material,warna,suara, gerak,  sikap dan banyak lagi sesuai dengan jenis seni dan fisik lain.
(2). Penyusunan dan pengorganisasian hasil pengamatan merupakan konfigurasi dari struktur bentuk bentuk pada yang menyenangkan dengan pertimbanganharmoni, kontras, balance, unity yang selaras atau kesatuan yang utuh.
(3). Susunan hasil proses ( pengamatan ) juga dihubungkan dengan perasaan atau emosi, yang merupakan hasil interaksi antara persepsi memori dengan persepsi visual.

Kata Kunci: Seni, Ruang, Tempat

Thursday, April 28, 2016

Kujang Pada Lambang Organisasi Masyarakat Sunda Penulis: Novian Denny Nugraha

Kujang Pada Lambang Organisasi Masyarakat Sunda
Penulis: Novian Denny Nugraha

Eksistensi Kujang pada Lambang Organisasi Masyarakat Sunda di Jawa Barat, sebagai artefak khas masyarakat Sunda yang mengandung filosofis dan simbolis serta estetis yang dalam. Fenomena penguatan eksistensi identitas Kujang ini, terlihat juga pada kelompok penggemar music anak-anak muda kota Bandung. Komunitas  penggemar music metal yang nota bene merupakan kelompok masyarakat  yang sarat menggunakan symbol-simbol Barat, baik dari cara bermusik dan budaya visualnya, menggunakan Kujang sebagai identitas kelompoknya.
Perwujudan atau eksistensi symbol Kujang pada Organisasi Masyarakat Sunda ini, nerupakan perkembangan yang positip apabila dilihat dari sisi penguatan identitas entitas masyarakat Sunda, karena dengan adanya kesadaran penggunaan identitas dan artefak ke Sundaan ini, maka akan menguatkan eksistensi, sekaligus sebagai faktor pembeda dalam kemajemukan Indonesia ataupun dunia yang multi etnis.

Dalam penelitian ini, digunakan metode kajian analisis semiotic yang merujuk kepada analisis struktur bentuk, makna dan fungsi juga interelasi antar simbolnya. Metode Qualitatif deskriptif Interpretatif digunakan dengan tujuan untuk mengetahui kedalaman nilai dari kujang, mengetahui sikap organisasi masyarakat Sunda terhadap Kujang.
Hasil penelitian menunjukan, bahwa kujang mempunyai kedalaman makna yang tinggi secara simbolis, filosofis dan estetik, serta merupakan sebuah identitas yang dibangun oleh nilai-nilai primordial dan ketidak sadaran kolektif masyarakat Sunda, yang secara struktur mempunyai hubungan yang kuat antar elemennya.

Kualitas Nilai dari Kujang sebagai artefak khas masyarakat Sunda tidak sekedar benda fungsional yang merujuk kepada struktur cultural masyarakat Sunda yang mempunyai kultur peladang, tetapi juga mempunyai nilai-nilai filosofis, simbolis, dan estetis yang tinggi, yang merujuk kepada kedalaman makna dari Kujang.
Nilai pada tataran filosofis simbolis Kujang merepersentasikan tahapan dan tujuan hidup masyarakat Sunda, yang senantiasa diarahkan kepada kesadaran “ilahiah” menuju pencerahan hidup, yang dalam terminology konsep Kujang disebut Suwung Caang, Ca-wa-Nga, atau bersifat “manusia cahaya”, sebagai sebuah konsep kesadaran transedental dan sacral manusia Sunda.

Kata Kunci: Kujang, Mayarakat Sunda, Makna, dan Fungsi.


Formula Ornamen Dalam Tembang Sunda Cianjuran Penulis: Rosliani

Formula Ornamen Dalam Tembang  Sunda Cianjuran
Penulis: Rosliani

Tembang Sunda Cianjuran merupaakan seni pertunjukan sekar gending yang terdiri atas: penembang, pemain kacapi indung, pemain kecapi rinciki, dan pemain suling/rebab. Laugu-lagu dalam tembang sunda cianjuran dibagi ke dalam beberapa wanda, yaitu: papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, kakawen, dan panambih. Cara membawakan lagu pada setiap wanda tentunya berbeda, yakni memerlukan keterampilan khusus. Setiap wanda lagu mempunyai karakter masing-masing dalam cara membawakannya.

Penelitian ini mengkaji tentang formula ornament dalam tembang sunda cianjuran. Adapun permasalahannya terdiri atas tiga bagian, yaitu: (1) bagaimana hubungan antara melodi, rumpaka, dan dongkari dalam lagu-lagu tembang sunda Cianjuran?; (2) bagaimana formula ornament dalam lagu-lagu tembang sunda cianjuran?; dan (3) mengapa para penembang yang sudah mumpuni dan berpengalaman sebagai penembang kecendrungannya memiliki gaya yang berbeda dalam mebangun formula ornamennya?.

Hasil penelitian menunjukan, pertma dalam lagu-lagu tembang  sunda cianjuran, baik yang termasuk pada wanda papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, maupun kakawen, hubungan antara melodi, rumpaka, dan dongkari  sangat erat, dan satu sama lain saling ketergantungan. Dalam arti, keberadaan “melodi” pada lagu-lagu tembang sunda cianjuran cukup mengikat terhadap keberadaan ornament dan rumpaka lagu. Hubungan antara melodi dan rumpaka terjalin secara silabis atau melismatis.

Kedua, formula ornament dalam tembang sunda cianjuran terbentuk atas dau, tiga, empat, lima, enam, atau tujuh jenis dongkari. Keenam formula ornament ini dapat dikelompokan ke dalam dua jenis, yaitu: formula ornament tetap dan formula ornament variatif. Pada semua lagu tembang sunda cianjuran yang dianalisis dengan menampilkan empat orang penembang, ditemukan penggunaan dan penempatan dongkari yang kecendrungannya sama dari setiap penembang. Namun, pada bagian-bagian lagu tertentu ditemukan pula perbedaan penggunaan dan penempatan dongkari dari keempat penembang tersebut. Atas dasar hasil temuan ini, dapat dikatakan bahwa ornament dalam lagu-lagu tembang sunda cianjuran ada sifatnya mutlak, dan ada pula yang sifatanya tidak mutlak sebagai variasi atau gaya individu dari para penembang.

Ketiga, dari hasil studi komparatif terhadap empat penembang ditemukan sejumlah “formula ornament variatif” yang muncul dari masing-masing penembang. Munculnya formula ornament variatif dari setiap penembang ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) memeiliki keterampilan dan pengalaman dalam menggeluti dunia tembang sunda cianjuran, baik secara prakktik maupun nonpraktik (pengetahuan); (2) memiliki kekayaan perbendaharaan seni (khususnya seni vocal); dan (3) belajar dari guru yang berbeda.
Kata Kunci: tembang sunda cianjuran, ornament, formula.

Kreativitas Mang Koko Dalam Karawitan Sunda Penulis: Tardi Ruswandi

Kreativitas Mang Koko Dalam Karawitan Sunda
Penulis: Tardi Ruswandi

Mang Koko yang nama lengkapnya H. Koko Koswara, lahir di Indihiang Tasikmalaya,Provinsi Jawa Barat (Indonseia), pada tanggal 24 November 1915. Akan
tetapi pada waktu masuk sekolah formal, kelahirannya dirubah menjadi 10 April 1917 (Tatang Sumarsono, dalam Tardi, 2007:3). Dalam lingkungan keluarganya, Mang Koko merupakan anak tunggal dari pasangan suami istri Mochamad Ibrahim dengan Siti Hasanah. Sedangkan pendidikan formal yang ditempuh Mang Koko adalah HIS (Holands Inlandsche School) setingkat dengan Sekolah Dasar (SD), lulus ndan berizasah 1932 serta MULO (Meer Uitgebruid Lager Onderwjs) setingkat
dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), lulus dan berizasah 1936.

Pekerjaan yang pernah dilalui Mang Koko selama hidupnya adalah sebagai berikut: Pertama, Mang Koko bekerja sebagai karyawan Bale Pamoelangan
Pasoendan (Paguyuban Pasundan) bagian pendidikan. Kedua, pada tahun 1940 ia memilih bekerja di sebuah Bank yang bernama ‘De Javasche Bank’. Ketiga, pada
tahun 1942, Mang Koko pindah lagi menjadi pengurus advertensi (iklan) di Harian Cahaya Shimbun. Keempat, pada tahun 1945, ia bekerja sebagai administratur
Harian Suara Merdeka Bandung, dan pada zaman revolusi, harian tersebut pindah ke Tasikmalaya. Kelima, pada tahun 1950 hingga tahun 1961, Mang Koko bekerja di
Jawatan Penerangan Propinsi Jawa Barat. Keenam, pada tahun 1959, ketika Mang Koko masih bekerja di Jawatan Penerangan, ia bersama-sama dengan temannya mendirikan dan sekaligus memimpin Yayasan Cangkurileung yang tersebar hampir di seluruh Kabupaten dan Kotamadya se Jawa Barat. Anggotanya anak-anak sekolah dasar dan menengah. Ketujuh, pada tahun 1961 Mang Koko mengajar di KOKAR (SMKI) Bandung, bahkan selama 6 tahun hingga pensiun (1966-1972) ia menjadi direkturnya. Kedelapan, ketika Mang Koko memimpin KOKAR, pada tahun 1971 ia mendirikan ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) swasta, yang merupakan cerminan ketidaksabarannya menantikan kehadiran pendidikan tinggi karawitan
negeri. Pada waktu itu, Mang Koko dipercaya sebagai direkturnya. Kesembilan, pada tahun 1974 yaitu setelah pensiun dari KOKAR Bandung,

Mang Koko diangkat menjadi dosen Luar Biasa dan sekaligus diberi tugas sebagai ketua Jurusan Karawitan ASTI Bandung,yang sesungguhnya merupakan hasil
integrasi antara ASKI dan ASTI Bandung. Berdasarkan jenisnya karya-karya Mang Koko sebagai hasil kreativitasnya dalam mengembangkan karawitan Sunda,
terdiri atas: Sekar Jenaka, lagu-lagu Kawih (anggana dan rampak sekar), Gamelan Wanda Anyar, Kacapian, Etude Kacapi, dan Drama Suara atau Gending Karesmen.
Karya-karya Mang Koko tersebut, sekalipun dibuat baru, tetapi secara esensial masih mengakar pada karawitan tradisional, sehingga secara musikal karya tersebut
masih bernuansa karawitan Sunda.

Dalam hal kreativitas, Mang Koko dapat dikatakan pelopornya. Hal ini disebabkan karena Mang Koko telah banyak menularkan konsep kreativitas kepada seniman generasi berikutnya, dalam arti karya-karya Mang Koko sebagai hasil kretivitasnya, kebanyakan dijadikan pijakan oleh para seniman generasi penerus ketika membuat karya baru karawitan. Atas dasar hal itu, Mang Koko menjadi figur seniman yang patut dicontoh kreativitas dan kenerjanya dalam mengembangkan karawitan Sunda. Dalam pembahasan kreativitas, penulis menggunakan kreativitas pendapat Dedi Supriadi. Kaitannya dengan karawitan Sunda, kreativitas adalah kemampuan seniman dalam melahirkan karya karawitan yang berbeda dengan karya karawitan
sebelumnya. Untuk itu dalam mengungkap Kretivitas Mang Koko dalam Karawitan Sunda, dapat dilakukan dengan menjelaskan penggalian dan penciptaan yang dilakukan Mang Koko.

Kata kunci: Mang Koko, Kreativitas, Karawitan Sunda

Pelestarian Dan Pengembangan Seni Ajeng Sinar Pusaka Pada Penyambutan Pengantin Khas Karawang/ Rosikin Wikandia

Pelestarian Dan Pengembangan Seni Ajeng Sinar Pusaka Pada Penyambutan Pengantin Khas Karawang/ Rosikin Wikandia

Melestarikan dan mengembangkan kesenian dalam transisi kepunahan, khususnya salah satu jenis kesenian khas Karawang, yaitu seni Ajeng adalah tanggungjawab
bersama antara kreator, intansi terkait, dan masyarakat pendukungnya. Kesenian Ajeng memiliki kekhasan tersendiri, yang bisa mandiri dalam penyajiannya (bentuk
isntrumental) dan penyajian dalam mengiringi taria Soja. Kerberadaan group seni Ajeng pada tahun 2006, hanya tinggal 2 (dua) group dari asalnya 8 (delapan) group,
yaitu sanggar seni Ajeng Sinar Pusaka pimpinan Abah Tarim (Ican Saputra), dusun Bambu Duri Karang Pawitan, dan group Ajeng Nyumplon Pagadungan Jayanagara
Cikampek. Sehingga timbul pertanyaan mengapa seni Ajeng dalam transisi kepunahan? Hal ini dikarenakan berbagai masalah, di antaranya kurang tradisi
penggenerasian, kreativitas seniman, kurang pembinaan dari intansi terkait, dan maraknya seni moderen. Maka seni ajeng ini dikatakan hampir punah, bahkan tidak
berkembang. Begitu pula dengan kemasan karya seni Ajeng harmonisasi musik (karawitan) dan tarian Soja Ajeng tersebut kurang pareasi dan dinamis, sehingga
berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan seni Ajeng itu sendiri.

Yakob Sumardjo (2000:84) mengemukakan, bahwa manusia menciptakan sesuatu bukan dari kekosongan, manusia menciptakan sesuatu dari yang telah ada sebelumnya. Setiap seniman menjadi kreatif dan besar karena bertolak dari bahan yang telah tercipta sebelumnya, istilah yang biasa kita sebut tradisi. Kebiasaan ini yang diwariskan secara turun temurun dari genersi ke generasi, sehingga proses kreativitas seniman tidak bisa terbentuk dalam karya seninya, maka tak bisa kita pungkiri bahwa penciptaan karya seni bertolak dari sesuatu yang telah tersedia dalam lingkung kultur sosial masyarakatnya. Karya kreatif dari para seniman pendahulu ini sebenarnya merupakan hasil pergulatan seniman dengan bebagai persoalan budaya dan masyarakat pada zamannya (Yakob Sumardjo, 2000:84).

Potensi seni budaya sebagai kearifan lokal sangat berperan penting dalam upaya mengusung kebudayaan Nasional, maka sewajarnya potensi seni yang dimiliki oleh
daerah perlu diperhatikan pelastarian dan pengembangannya oleh intansi terkait. Hal ini ditunjukkan dengan mencoba membina kesenian Ajeng sebagai salah satu seni khas
Karawang, yang memiliki gaya yang berbeda dengan jenis seni lainnya. Berdasarkan kajian hal tersebut di atas secara tidak langsung telah memberikan gambaran pada kita bahwa kesenian Ajeng, walaupun hanya tinggal satu group dari sekian banyak group Ajeng, masih tetap bertahan hidup. Kehidupan seni Ajeng, khususnya pada sanggar seni Ajeng “Sinar Pusaka”, pimpinan Abah Tarim Ican Saputra ini, hidup di tengah hiruk pikuknya seni moderen yang sedang menjalar di seluruh pelosok Karawang. Sedangkan proses kreativitas senimannya dalam mengharmonisasikan antara seni karawitan dan tarian Soja terus diupayakan tetap berproses sejalan dengan arus  kehidupan masyarakatnya.

“Pelestarian dan Pengembangan Seni Ajeng Sinar Pusaka Dalam Penyambutan Pengantin Khas Karawang “. adalah merupakan judul tulisan ini, yang diharapkan hasilnya secara tidak langsung dapat memberikan gambaran tentang bagaimana keberadaan kesenian yang ada di kabupaten Karawang, khususnya pada seni Ajeng. Maka upaya apa, yang dilakukan dalam pelestarian dan pengembangan seni ajeng Sinar Pusaka Abah Tarim, dan bagaimana harmonisasi antara music (karawitan) dan tarian Soja pada seni Ajeng?, juga masih banyak lagi yang lainnya , yang penulis ingin ketahui kaitannya dengan penelitian. Hal ini  dikarenakan ada beberapa kemungkinan untuk dapat mengetahui permasalahan yang diteliti di lapangan.

Adapun keutamaan dalam penelitian ini, dikarenakan kondisi daerah Jawa Barat pada umumnya memiliki beberapa peranan yang sangat strategis dalam pelestarian dan
pengembangan seni budaya, khususnya bagi ksesenian Ajeng” Sinar Pusaka” pimpinan Abah Tarim Ican Saputra, seperti diungkapkan Ii wahyudi (1987:12)
“Kesenian Ajeng merupakan salah satu bentuk kesenian, yang berfungsi sebgai upacara pangajeng-ngajeng khusus untuk pengantin khas Karawang dengan memiliki tarian soja dan iringan musik yang khas sebagai seni Ajeng”. Kesenian Ajeng ini masih hidup dan      berkembang, yaitu di kampung Bambu Duri RT02/22, Desa Karang Pawitan, Karawang adalah seni yang menyajikan dua bentuk penyajian berbeda tetapi dalam satu irama yang berfungsi sebagai penyambutan dalam upacara pengantin khas Karawang.

Kata kunci: Ajeng, Tari Soja